Pemerintah Hapus Praktik Sunat Perempuan, Ini Penjelasan Medis dan Agama
JAKARTA, iNews.id - Praktik sunat pada perempuan resmi dihapus pemerintah. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Dalam PP tersebut disebutkan, keputusan penghapusan praktik sunat perempuan bertujuan untuk kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah. Selama ini sunat perempuan menjadi pro dan kontra.
Lantas, apakah dari sisi medis perempuan harus sunat? Dokter Spesialis Obygon, Muhammad Fadli, Sp.Og menjelaskan, pada laki-laki sunat dibutuhkan untuk kebersihan (hygine) diri, sedangkan pada perempuan sunat tidak diperlukan.
“Anatomi kelamin laki-laki berbeda dengan anatomi kelamin perempuan. Khitan pada laki-laki menghilangkan preputium ataupun kulit menutupi kelamin yang dapat menghambat saluran kemih dan menyisakan urine di kulit sehingga berpotensi besar menyebabkan infeksi,” ujar dr Fadli, dilansir dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA).
“Sebaliknya, kelamin perempuan tidak tertutupi preputium atau sudah terbuka sejak lahir sehingga saluran kemih tidak terhambat dan membersihkannya lebih mudah. Luka seperti sunat pada perempuan justru akan mengakibatkan masalah medis baru seperti nyeri hebat, hingga pendarahan terutama bagian klitoris,” katanya.
Dia menerangkan, klitoris merupakan bagian yang paling sensitif karena terdapat banyak pembuluh darah dan pusatnya ujung syaraf. Luka pendarahan hebat yang timbul akibat praktik sunat pada perempuan bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat dapat menyebabkan kematian.
Lantas bagaimana secara agama? Ulama Perempuan sekaligus Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIG) Nur Rofiah menjelaskan dalam Al-Quran dan hadis tidak mengaskan hukum sunat bagi perempuan. Namun, lahir pandangan dan tafsir berbeda-beda yang bias gender dan pada akhirnya merugikan, menyakiti, bahkan membahayakan perempuan.
“Cara pandang yang melihat perempuan sebagai sumber fitnah, hasrat seksualnya perlu ditekan atau harus disucikan dengan sunat perempuan adalah akar dari tradisi berbahaya tersebut. Tidak satupun manusia lahir sebagai subjek sekunder,” kata Nur Rofiah.
“Perempuan adalah makhluk yang utuh sama seperti laki-laki, yang membedakan hanyalah ketaqwaan seseorang. Paling sedih tradisi itu (sunat perempuan) dilegitimas oleh agama, dan dianggap sebagai kebenaran karena itu terjadi dimana-mana,” ujarnya.
Editor: Dani M Dahwilani