Lanjutan Khutbah I
Ketiga: perjalanan Isra Miraj yang dilakukan Nabi satu tahun jelang perjalanan hijrah atau tahun ke sepuluh setelah nubuwwah. Terlepas adanya perbedaan pandangan ulama mengenai apakah Isra Mi’raj dilakukan secara jasmani dan ruhani atau secara ruhani saja, yang pasti peristiwa ini mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat besar bagi umat manusia.
Dalam kesempatan mulia ini, izinkan khatib menyampaikan sekelumit tentang hikmah Isra Miraj dalam tinjauan tasawwuf. Peristiwa Isra Miraj termaktub secara eksplisit dalam surat Al-Isra' [17] ayat 1:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Artinya: Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda kebesaran ayat Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Mari sejenak mencermati penjelasan ringkas para ahli tafsir tentang kisah Isra Miraj ini, agar peristiwa nan agung ini tidak hanya menjadi kisah sejarah kenabian yang setiap tahun diperingati tetapi kering makna dan tidak memberikan atsar (dampak) yang membekas dan mencerahkan dalam diri dan kehidupan kaum Muslimin.
Pertama, kata “subhana” (Maha Suci) dalam Al Quran digunakan untuk menunjukkan keajaiban terhadap sesuatu. Dalam konteks ayat ini adalah apa yang disebut sesudahnya yaitu peristiwa Isra Mirajmerupakan peristiwa yang menakjubkan karena kejadiannya sangat di luar kebiasaan yang dikenal manusia.
Para mufassir juga menyatakan, jika ada ayat yang diawali dengan kata ‘subhana’, maka di dalamnya ada penjelasan terkait peristiwa luar biasa yang mustahil dijangkau dengan logika manusia semata. Kalaulah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha hari ini dapat terpecahkan dengan kekuatan teknologi modern melalui munculnya pesawat terbang atau kendaraan supercepat di darat, maka perjalanan Nabi SAW dari Masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha akan senantiasa menjadi misteri sampai kapan pun. Hanya iman dalam panduan wahyu yang mampu menerima dan menjelaskannya.
Kedua, kata “asra” (memperjalankan) bermakna pasifnya Nabi Muhammad saw. dan ‘aktifnya’ kuasa Allah dalam peristiwa monumental ini. Di atas beliau ada Allah yang Mahakuasa, mulai dari merencanakan, memperjalankan, mempertemukan dengan nabi-nabi sebelumnya, memberikan perintah shalat, memperlihatkan tanda-tanda kebesarannya di alam ghaib yang tidak pernah terlintas dalam benak manusia dan seterusnya.
Perjalanan Isra Miraj bukan kehendak Nabi dan tidak terjadi atas dasar kemampuan pribadinya, akan tetapi atas kehendak Allah swt. Atas dasar itu, sejak awal ayat ini mengingatkan semua manusia bahwa peristiwa tersebut harus dikaitkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah swt. Karenanya, sungguh keliru jika ada orang memahami dan mengukur peristiwa itu dengan ukuran kemampuan makhluk.
Penggalan ayat ini sesungguhnya mengandung maka bahwa perjalanan Isra Mi’raj dilakukan oleh satu pihak, dalam hal ini subjek, yakni Allah swt terhadap satu objek, yakni hamba-Nya, dalam hal ini Nabi Muhammad saw. Pada tahap ini, kita tidak perlu membahas soal teknis. Sebab Allah swt. benar-benar Berkuasa atas segala sesuatu yang Ia kehendaki.
Ketiga, kata “bi-‘abdihi” (hamba-Nya). Allah tidak menyebutkan nama Muhammad saw. secara langsung yang bermakna semua hamba-Nya dapat melakukan miraj sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits bahwa shalat merupakan mi’rajnya orang-orang beriman. Di sini, kita wajib bersyukur dan optimis.
Sebab, di mana pun maqam spiritual yang kita duduki, ada kesempatan yang besar untuk naik kelas. Allah telah memberikan kepada manusia tiket yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk melakukan mi’raj, naik bertemu dengan Allah swt. melalui ibadah shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Sementara huruf ‘ba’ dalam kalimat “bi-‘abdihi” berfungsi sebagai isyarat kedekatan (littab‘idl).
Artinya, Allah memberikan kriteria khusus hanya kepada hamba-hamba yang dekat dengan-Nya untuk melakukan perjalanan spiritual, naik kepada-Nya. Penggunaan huruf ‘ba’ itu juga mengisyaratkan bahwa perjalanan Isra’ tersebut terjadi di bawah kekuasaan dan kendali Allah swt., penggunaan huruf ba’ ini menjadikan Nabi bukan saja diisra’kan lalu dilepas begitu saja tetapi dilakukan di bawah bimbingan-Nya secara terus menerus bahkan selalu disertai oleh-Nya.
Keempat, kata “lailan” (malam). Ada begitu banyak makna malam dalam ayat ini. Malam, mula-mula juga disyariatkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dalam shalat tahajjud. Malam juga dipilih Allah untuk menurunkan al-Qur’an al-Karim.
Turunnya wahyu pertama terjadi di malam hari di gua Hira saat Nabi tengah ber-tahannuts. Para wali-wali Allah juga mendapatkan pengalaman spiritual yang mengesankan di waktu malam. Bahkan, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Siapa menghendaki martabat tinggi di hadapan Allah swt., hendaknya dia banyak berjaga di malam hari.” Karena itu pula, Allah menjanjikan kedudukan yang amat tinggi bagi siapa saja yang berlelah-lelah melawan kantuk untuk bangun di malam hari bermunajah dan beribadah kepada-Nya.
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat Tahajjud sebagai (ibadah) tambahan bagimu; muda-mudahan Allah Ta’ala mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Qs. Bani Israil [17]: 79).
- Sumatra
- Jawa
- Kalimantan
- Sulawesi
- Papua
- Kepulauan Nusa Tenggara
- Kepulauan Maluku