5 Sikap Muslim terhadap Wabah Covid-19 agar Terhindar dari Keburukan
JAKARTA, iNews.id - Kasus positif Covid-19 di Indonesia kembali melonjak dalam beberapa pekan terakhir. Jumlah warga yang terpapar Covid-19 pun telah mencapai angka 2 juta orang lebih dan ribuan orang meninggal dunia. Lantas, bagaimana sikap Muslim terhadap wabah Covid-19?
Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA mengatakan, wabah Covid-19 merupakan fenomena unik yang terjadi di masa sekarang. Berbeda dengan pandemi lainnya, pandemi ini terjadi secara cepat menyebar ke seluruh penjuru muka bumi tanpa bisa dihindari.
Dampaknya adalah lockdown yang diberlakukan oleh berbagai negara. Sebenarnya lockdown ini bukan dampak, namun langkah yang diambil untuk menghindarkan diri dari penyebaran wabah.
Langkah ini dianggap yang paling mungkin untuk dilakukan, selama belum ditemukan vaksin yang bisa menangkal orang ketularan virus ganas ini. Namun lock-down itu kemudian menimbulkan banyak efek samping.
Orang-orang dilarang untuk berkumpul dalam jumlah yang banyak, sehingga kegiatan peribadatan di masjid dan berbagai majelis taklim terpaksa dihentikan.
Shalat berjamaah di masjid termasuk yang kena dampaknya juga, bahkan termasuk juga shalat Jumat yang hukumnya wajib.
Terkait kondisi itu, ada beberapa sikap bijaksana dan baik yang harus diambil tiap muslim dalam menghadapi wabah Covid-19 sebagai berikut:
1. Berprasangka Baik Kepada Allah
Yang pertama kali sebagai seorang muslim tetap harus berprasangka baik kepada Allah SWT, khususnya ketika sedang menghadapi bala’ dan bencana.
إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا
(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. (QS. Al-Ahzab : 10).
Berprasangka baik kepada Allah SWT itu sangat penting, karena Allah SWT sendiri yang menegaskan bahwa perlakuan-Nya kepada kita itu justru sangat bergantung dari apa yang kita sangkakan kepada-Nya. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi berikut ini:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ.
“Aku (Allah) sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku, karnanya hendaklah ia berprasangka semaunya kepada-Ku.”
Kalau berprasangka buruk, maka akan mengalami keburukan. Sebaliknya, kalau berprasangka baik, tentu Allah SWT pun akan memberikan yang terbaik.
2. Optimis dan Berkata Baik
Yang kedua, tetap wajib bersikap optimistik dalam menghadapinya dan berucap kata-kata yang baik. Hal ini sebagaimana diajarkan oleh Nabi saw dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu.
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ: الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ
Tidaklah penyakit menular tanpa izin Allah dan tidak ada pengaruh dikarenakan seekor burung, tetapi yang mengagumkanku ialah al-Fa'lu (optimisme), yaitu kalimah hasanah atau kalimat thayyibah (kata-kata yang baik). (HR. Bukhari Muslim)
Para ahli medis mengatakan bahwa salah satu faktor yang memicu penyembuhan para pasien korban Covid-19 adalah mentalitas yang optimistis serta tidak stres. Yang dibicarakan bukan angka-angka korban kematian, melainkan angka-angka kesembuhan.
Selain itu Rasulullah SAW juga melarang untuk berbicara yang tidak baik. Kalau tidak bisa membicarakan yang baik-baik saja, maka sebaiknya diam saja.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. (HR. Bukhari Muslim)
3. Kewajiban Menghindari Wabah
Hal pertama yang mesti dilakukan seorang muslim dalam menghadapi wabah penyakit setelah ia menata akidahnya adalah berikhtiyar semaksimal mungkin untuk menghindarinya.
Bahkan sikap ini merupakan perintah langsung dari Rasulullah saw dan juga sekaligus diamalkan oleh Rasulullah saw.
وَفِرَّ مِنَ المجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ
Dan larilah dari penyakit lepra sebagaimana engkau lari dari kejaran singa.” (HR. Bukhari)
كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ
Dari Amru bin asy-Syarid, dari Bapaknya, dia berkata: “Dalam delegasi Tsaqif (yang akan bai'at Rasulullah SAW) terdapat seorang laki-laki berpenyakit kusta. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: "Kami telah menerima bai'at Anda. Karena itu Anda boleh pulang.” (HR. Muslim)
Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى الله عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاسًا مِنْ عِبَادِهِ، فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ، فَلَا تَدْخُلُوا عَلَ
َا تَفِرُّوا مِنْهُ
"Tha'un (penyakit menular/wabah kolera) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya." (HR. Bukhari Muslim)
4. Tidak Membahayakan Orang Lain
Selain tidak boleh membahayakan diri sendiri, juga wajib menghidarkan diri dari melakukan hal-hal yang membahayakan orang lain. Keduanya menjadi satu hal yang satu paket, sebagaimana sabda Nabi SAW dalam hadits riwayat Abu Said al-Khudri radhiyallahuanhu.
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ، مَنْ ضَارَّ ضَارَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. (HR. Malik, Daruquthni, Hakim dan Baihaqi).
Tidak bolehnya berkumpul, harus menghindari kontak fisik dan wajibnya menjaga jarak selama masa penyebaran Covid 19 ini adalah bentuk nyata dari upaya agar tidak memberi madharat kepada orang lain. Masalahnya bukan sekadar agar tidak tertular dari orang lain, tetapi juga tidak menulari orang lain.
إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ؟ قَالَ: «تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللهَ الَّذِي لَكُمْ
Dari Abdullah bin Mas’ud: Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh, sepeninggalku akan ada penguasa-penguasa negara yang mementingkan diri sendiri dan membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak kalian sukai.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika mengalami peristiwa tersebut?.” Beliau menjawab: “Tunaikanlah kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (H. Muslim)
5. Wajib Mengupayakan Pengobatan
Syariah Islam telah memerintahkan kepada kita sebagai hamba Allah untuk selalu mengupayakan kesembuhan. Sebab setiap penyakit itu datangnya dari Allah SWT. Dan Allah SWT tidak pernah menurunkan suatu penyakit kecuali diturunkan juga obatnya. Maka tugas dan kewajiban kita adalah untuk menemukan obat dari suatu penyakit.
Memang kita bukan ahli dalam bidang pengobatan penyakit, namun setidaknya ikut mendukung semua pihak dalam rangka mendapatkan obat atas suatu penyakit. Perintah ini memang datang dari sisi Nabi SAW :
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, maka akan sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah 'azza wajalla.” (HR. Muslim)
Jadi penyakit itu harus diupayakan obatnya dan bukan hanya didiamkan saja. Benar bahwa tubuh punya zat antibodi yang bisa melawan penyakit. Namun bukan berarti tidak perlu berobat.
Wallahu A'lam
Editor: Kastolani Marzuki