6 Ritual Kedewasaan Paling Brutal di Dunia, Ada yang Harus Terjun Bebas dari Ketinggian 30 Meter
JAKARTA, iNews.id - Ritual kedewasaan paling brutal di dunia membuat kita bergidik melihatnya. Namun bagi sebagian kalangan yang sudah familiar, ritual ini tak terlalu menakutkan.
Masa dewasa merupakan peralihan dari remaja ke usia lebih matang dalam menjalani hidup maupun mengambil keputusan. Seseorang dianggap dewasa jika telah lebih bijak dalam bertindak, tidak mengedepankan ego serta mampu merancang rencana masa depannya.
Ritual kedewasaan menjadi sebuah kebiasaan dalam suku yang masih mempercayai tradisi adat tersebut. Lantas ritual kedewasaan paling brutal apa saja yang ada di dunia?
Berikut beberapa ritual kedewasaan paling brutal di dunia:
Vanuatu merupakan negara di Samudera Pasifik Selatan, berada di bagian timur Australia. Di pada wilayah Pentecost terdapat tradisi berbahaya yang sangat terkenal bernama Nagol.
Nagol yaitu para pria dewasa menaiki sebuah menara setinggi 30 meter. Dia kemudian mengikatkan kedua kakinya pada tali yang terbuat dari tanaman rambat.

Setelah itu, mereka melompat tanpa alat pengaman dan harus turun di tanah. Dapat dibayangkan adegan ini seperti terjun lenting atau bungee jumping.
Adegan berbahaya ini merupakan tanda kedewasaan dan diadakan setiap tahun pada bulan April sampai Juni sebagai objek rekreasi. Bahkan jika ingin menonton atraksi tersebut harus reservasi terlebih dahulu kepada agen pariwisata khusus.
Suku yang berasal dari Amerika ini memiliki ritual kedewasaan yang sangat ekstrim. Dimana tiga hari sebelumnya, para pria yang akan dewasa ini harus berpuasa sebagai pembersih diri.
Setelah itu pada bagian dada, otot bahu dan punggung, akan ditancapkan kayu besar. Kemudian akan dipasangkan tali pada kayu dan dikaitkan menyokong dada.
Pada saat ritual dilakukan dilarang untung berteriak dan dibiarkan menopang rasa sakit tersebut. Jika sudah pingsan, baru mereka akan dilepaskan dari gantungan itu.
Kelompok ini merupakan suku yang berasal dari Papua Nugini. Mereka masih memegang teguh kepercayaan terhadap para roh sehingga animisme masih terbangun kuat disana.
Masyarakat Sepik mempunyai ada upacara seremonial untuk para pria yang menginjak usia dewasa. Mereka akan menyayat kulit bagian atas perut, bahu dan punggung dengan sebilah silet, agar menyerupai kulit buaya.
Buaya dilambangkan sebagai makhluk yang suci. Bagi mereka, asal mula nenek moyang merupakan seekor buaya yang muncul dari dalam sungai.
Tidak dapat dibayangkan betapa rasa sakitnya, namun pengirisan ini merupakan bentuk dari pembersihan dari darah ibu dan peralihan ke masa dewasa oleh suku tersebut.
Kembali lagi dari negeri Papua Nugini, yaitu Suku Matausa. Dalam kepercayaan mereka menganggap bahwa darah ibu yang melahirkan para pria itu kotor. Sehingga perlu adanya pembersihan. Maka dilakukan lah ritual kedewasaan.
Ritual yang mereka lakukan dengan memasukkan bilah kayu kecil ke dalam hidung dan tenggorokan sampai mengeluarkan darah dan lendir. Ada juga upacara menusukkan lidah dengan benda seperti panah sampai berdarah.
Jika pemuda sudah melakukan ritual ini maka akan disebut pria sejati.
Suku ini mendiami daerah terpencil di Amazon. Dalam masa peralihan dari remaja menuju dewasa, masyarakat di suku ini akan menjalankan ritual memasukkan kedua tangan dalam benda seperti sarung tangan yang terbuat dari anyaman bambu.

Pada sarung tangan tersebut telah diisi dengan banyak semut peluru yang dikenal memiliki gigitan tersakit di dunia. Para pemuda pemudi ini harus merasakan kesakitan sambil menari selama 10 menit dan tidak diperkenankan untuk berteriak.
Ini merupakan ritual menuju jenjang kedewasaan yang dilakukan Suku Dhewe yang bertempat di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betuk ritual ini berupa pemotongan gigi.
Batu asah ukuran kecil akan dimasukkan ke dalam gigi. Bila sudah tertancap, batu akan digosok secara terus menerus hingga putus.
Demikian ritual kedewasaan paling brutal di dunia. Selain dapat menyerang mental para pelaku tetapi juga dapat mengancam nyawa bila dilakukan tanpa pengobatan dan perawatan yang baik.
Editor: Umaya Khusniah