Ayah di Maroko Memohon kepada Putin agar Selamatkan Putranya dari Hukuman Mati karena Bela Ukraina
RABAT, iNews.id – Ayah dari pria Maroko yang menghadapi hukuman mati karena ikut berperang melawan Rusia di Ukraina, memohon kepada Presiden Vladimir Putin agar menyelamatkan putranya.
Beberapa waktu lalu, pengadilan di Republik Rakyat Donetsk (DPR) menjatuhi hukuman mati kepada pria Maroko bernama Brahim Saadoun dan dua pria asal Inggris. Kini, ayah Brahim, Taher Saadoun, mengajukan permohonan banding atas nama anaknya tersebut.
“Saya memohon kepada Presiden Rusia Vladimir Putin untuk campur tangan, sebagai ayah dan demi kemanusiaan, melalui berbagai jalur kemanusiaan dan tidak resmi,” kata Saadoun dalam konferensi pers di Rabat, Maroko, Senin (27/6/2022).
Brahim dan dua pemuda Inggris dijatuhi hukuman mati setelah dituduh menjadi tentara bayaran untuk Ukraina saat berperang melawan agresi militer Rusia.
Taher sebelumnya mengatakan, putranya memperoleh kewarganegaraan Ukraina pada 2020. Karena itu, Brahim bukanlah tentara bayaran. Anaknya itu sudah selayaknya diperlakukan sebagai tawanan perang dan berhak dilindungi.
Dia juga mengimbau kepada Pemerintah Maroko agar turut bertindak untuk menangani kasus ini.
Taher adalah seorang pensiunan penyelidik di Kepolisian Militer (Gendermeri) Maroko. Menurut dia, pihak berwenang Maroko sampai sejauh ini belum melakukan kontak dengan putranya.
Dia juga tidak mengetahui apakah Rabat telah menghubungi Moskow ataupun pihak berwenang di Donetsk.
Pada 13 Juni lalu, Pemerintah Maroko menyatakan, Saadoun ditangkap saat mengenakan seragam militer negara Ukraina, yakni sebagai anggota unit Angkatan Laut Ukraina.
Dikatakan pula bahwa pemuda itu dipenjara oleh “entitas yang tidak diakui oleh PBB maupun Maroko”. Namun, tak ada lagi komentar lebih lanjut dari Rabat sejak saat itu.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) di Maroko telah mendesak pemerintah untuk campur tangan untuk menyelamatkan pemuda itu, dengan alasan kekhawatiran atas kesehatannya.
Rusia meluncurkan operasi militer khusus di Ukraina pada 24 Februari, setelah Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk (DPR dan LPR) meminta bantuan untuk membela diri dari provokasi pasukan Kiev. DPR dan LPR adalah dua wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina.
Rusia mengklaim, tujuan dari operasi khususnya itu adalah untuk demiliterisasi dan “denazifikasi” Ukraina.
Editor: Ahmad Islamy Jamil