Banyak Negara Minta Warganya Segera Tinggalkan Ukraina, China malah Santai
BEIJING, iNews.id - China belum meminta warganya untuk meninggalkan Ukraina di saat kekhawatiran akan serangan Rusia ke negara itu semakin meningkat. Negara-negara lain, seperti Amerika Serikat (AS), Belanda, Jepang, Australia, dan lainnya, sudah mendesak warganya untuk segera pergi.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, seperti dikutip dari Reuters, Senin (14/2/2022), mengatakan warga China tetap diminta untuk memantau dengan cermat setiap perkembangan di lapangan.
Menurut Wang, kedutaan besar China di Ukraina juga tetap beroperasi seperti biasa untuk memberikan pelayanan. Dia menegaskan kedubes di Kiev akan memberikan perlindungan kekonsuleran kepada warganya.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken saat bertemu dengan mitranya dari Jepang dan Korea Selatan di Honolulu, Hawaii, pada akhir pekan mengingatkan potensi serangan Rusia ke Ukraina tetap tinggi dan dekat.
Dia memerintahkan sebagian besar staf kedutaan besar AS di Kiev untuk meningglkan Kiev. Sebelumnya AS sudah mendesak warganya untuk segera meninggalkan Ukraina menggunakan penerbangan komersial. Pemerintah tak menyediakan penerbangan bantuan.
Lebih lanjut Blinken menegaskan, jalur diplomasi untuk meredakan ketegangan terkait krisis Rusia-Ukraina tetap terbuka. Rusia didesak untuk menurunkan eskalasi di perbatasan.
Gambar satelit menunjukkan Rusia menambah kekuatan di perbatasan Ukraina di samping sekitar 100.000 kekuatan yang sudah disiagakan di bagian perbatasan lainnnya.
"Jangan bepergian ke Ukraina karena meningkatnya ancaman aksi militer Rusia dan Covid-19. Mereka yang berada di Ukraina harus pergi sekarang melalui sarana umum atau pribadi," bunyi pernyataan Departemen Luar Negeri AS.
Rusia membantah rencana untuk menyerang Ukraina, namun mendesak AS dan sekutunya untuk berjanji tidak akan menerima Ukraina sebagai anggota NATO, tidak mengerahkan persenjataan, dan membatalkan pengerahan kekuatan militer ke Eropa Timur. Namun, permintaan itu ditolak oleh AS dan NATO.
Editor: Anton Suhartono