Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Wow, Rusia Akan Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Bulan
Advertisement . Scroll to see content

China Bangun Kamp-Kamp Rahasia untuk 'Mendidik' Muslim Uighur

Jumat, 26 Oktober 2018 - 10:10:00 WIB
China Bangun Kamp-Kamp Rahasia untuk 'Mendidik' Muslim Uighur
Bendera Cina berkibar di atas sebuah masjid yang ditutup di Kota Kashgar, Xinjiang.
Advertisement . Scroll to see content

BEIJING, iNews.id - China dituding memenjarakan satu juta umat Muslim Uighur di wilayah Xinjiang tanpa proses peradilan. Pemerintah China menepis tudingan tersebut, namun investigasi BBC menemukan bukti baru nan penting.

Berikut hasil investigasi jurnalis BBC terkait kamp-kamp tahanan Muslim Uighur.

Pada 12 Juli 2015, sebuah satelit menyoroti kawasan gurun dan sejumlah kota di bagian barat China. Salah satu foto yang diabadikan hari itu menampilkan pemandangan lahan kosong yang dipenuhi pasir abu.

Hanya berselang kurang dari tiga tahun kemudian, pada 22 April 2018, foto satelit di tempat yang sama menunjukkan perbedaan menakjubkan.

Sebuah kompleks besar dan berkeamanan ketat muncul, lengkap dengan tembok luar sepanjang dua kilometer dan 16 gardu penjaga.

Sejak awal tahun, berbagai laporan santer menyebutkan China mengoperasikan sejumlah kamp penahanan bagi warga Muslim Uighur. Tempat itu ditemukan oleh para peneliti yang sedang mencari bukti kamp-kamp tersebut memang ada dalam perangkat pemetaan global, Google Earth.

Fasilitas pendidikan kaum Uighur sebagaimana ditayangkan stasiun televisi pemerintah China. (Foto: CCTV)

Lokasi kompleks beton tersebut terletak di dekat Kota Dabancheng, sekitar satu jam berkendara dari ibu kota Xinjiang, Urumqi.

Guna menghindari pemantauan polisi terhadap setiap wartawan yang datang berkunjung, kami mendarat di Bandara Urumqi pada dini hari waktu setempat.

Akan tetapi, pihak kepolisian ternyata sudah mengantisipasi. Ketika tiba di Dabancheng, kami dikuntit sedikitnya lima mobil berisi polisi berseragam dan pejabat pemerintah.

Kian jelas kedatangan kami untuk mengunjungi kamp-kamp tahanan warga Muslim Uighur selama beberapa hari ke depan tidak akan mudah.

Selagi kendaraan kami meluncur, kami tahu cepat atau lambat konvoi mobil di belakang kami akan mencoba menghentikan kami. Lepas dari dugaan tersebut, kami menyaksikan pemandangan yang tak terduga.

Area luas, kosong, dan berdebu yang ditampilkan foto satelit di bagian timur kompleks, tak lagi kosong. Di tempat itu proyek pengembangan sedang berlangsung.

Deretan crane dan bangunan abu-abu raksasa setinggi empat lantai seolah mendadak tumbuh di gurun.

Kami pun langsung mengangkat kamera dan mengambil gambar proyek konstruksi tersebut. Namun, belum lama rekaman berputar, salah satu kendaraan yang menguntit tiba-tiba beraksi.

Mobil koresponden BBC diberhentikan, disuruh mematikan kamera, dan pergi.

Warga Uighur diperiksa di jalan oleh kepolisian China. (Foto: BBC)

Bagaimanapun, kami menemukan hal signifikan—aktivitas luar biasa besar yang belum diketahui masyarakat luas. Temuan kami dikuatkan oleh perangkat pemetaan global.

Di wilayah-wilayah terpencil, foto-foto Google Earth memang perlu waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun sampai akhirnya diperbarui.

Namun, sumber-sumber lain—seperti data satelit Sentinel milik Badan Antariksa Eropa—menyediakan foto-foto yang lebih baru walau resolusinya lebih rendah.

Melalui perangkat inilah kami menemukan apa yang kami cari.

Foto satelit Sentinel pada Oktober 2018 menunjukkan, betapa luasnya perkembangan lokasi tersebut. Jika semula kami menduga tempat itu adalah kamp penahanan besar, kini area yang sama telah menjelma menjadi kamp penahanan raksasa.

Kompleks besar mirip penjara itu hanyalah satu dari sekian banyak bangunan serupa yang dibangun di Xinjiang selama beberapa tahun terakhir.

Sebelum bertandang ke sana, kami terlebih dulu menyambangi pusat Kota Dabancheng.

Mustahil bisa berbincang secara terbuka dengan siapa pun di sana. Orang yang lewat mengawasi dari dekat, bahkan secara agresif berbincang kepada siapapun yang menyapa kami. Karenanya, kami memutar nomor telepon di kota itu secara sembarang.

Bangunan macam apa yang punya 16 gardu penjaga dan tidak boleh kami kunjungi?

"Itu adalah sekolah re-edukasi," kata seorang pengurus hotel.

"Ya, itu adalah sekolah re-edukasi," ujar penjaga toko.

"Ada puluhan ribu orang di sana sekarang. Mereka punya masalah dengan pemikiran mereka," sambungnya.

Belakangan kami mengetahui bahwa bagi warga Xinjiang, istilah "pergi ke sekolah" punya makna lain.

"Saya memahami kesalahan-kesalahan saya secara mendalam."

Pemerintah China secara konsisten menyanggah mereka memenjarakan umat Muslim tanpa melalui proses peradilan. Namun, bagi warga Xinjiang, kata 'pemenjaraan' di kamp-kamp sudah lama dilemahkan menjadi 'pendidikan'.

Pemerintah China pun tak tanggung-tanggung memakai kata itu guna menanggapi kritik dari berbagai penjuru dunia.

Sebagai langkah propaganda, stasiun televisi pemerintah menayangkan liputan mengenai pendidikan di Xinjiang, dengan ruang kelas yang bersih dan pelajar-pelajar yang sopan—tampak secara sukarela mendaftarkan diri untuk mengikuti pelajaran.

Sebuah poster di Xinjiang bertuliskan: "Stabilitas adalah berkah, ketidakstabilan adalah kekacauan". (Foto: BBC)

Tidak disebutkan landasan yang dipakai untuk memilih pelajar-pelajar dalam "sesi pelajaran" ini dan berapa lama pendidikan ini berlangsung. Kendati demikian, ada berbagai petunjuk yang bisa disimak.

Berbagai wawancara-wawancara terdengar seperti pengakuan.

"Saya memahami kesalahan-kesalahan saya secara mendalam," kata seorang pria di hadapan kamera, sembari berikrar menjadi warga yang baik setelah pulang.

Tujuan utama sesi-sesi pelajaran ini diadakan, demikian yang diberitahukan ke kami, adalah memerangi ekstremisme melalui gabungan teori hukum, keahlian kerja, dan pelatihan bahasa Mandarin.

Aspek terakhir menunjukkan istilah apapun yang Anda ingin gunakan—sekolah atau kamp—targetnya sama.

Fasilitas ini secara eksklusif ditujukan kepada kaum minoritas Muslim di Xinjiang yang sebagian besar tidak menggunakan Mandarin sebagai bahasa ibu.

Video yang ditayangkan mengindikasikan para pelajar di sekolah ini menjalani ketentuan berpakaian—tiada seorang pelajar perempuan yang memakai hijab.

Terdapat lebih dari 10 juta orang Uighur di Xinjiang. Mereka berbahasa Turki dan wajah mereka menyerupai masyarakat Asia Tengah, alih-alih etnik mayoritas Han di China.

Kota Kashgar di bagian selatan Xinjiang, secara geografis lebih dekat ke Baghdad ketimbang ke Beijing, dan begitu pula dengan budayanya.

Sejak dulu etnik Uighur sering memberontak terhadap kekuasaan China. Walau Xinjiang beberapa kali luput dari kendali China sehingga bisa mandiri pada masa sebelum Partai Komunis berkuasa, protes dan kekerasan lebih kerap terjadi.

Kekayaan mineral—terutama minyak dan gas—di wilayah yang luasnya lima kali lipat lebih besar dari Jerman mendatangkan investasi China, pertumbuhan ekonomi, sekaligus arus pendatang etnik Han.

Kondisi ini, menurut pemerintah China, menyebabkan standar hidup warga Xinjiang yang meningkat. Akan tetapi, selama sekitar satu dasawarsa terakhir, ratusan nyawa hilang akibat kerusuhan, kekerasan antarkomunitas, serangan yang direncanakan, dan aksi polisi.

Momen signifikan muncul pada 2013, saat serangan terhadap pejalan kaki di Lapangan Tiananmen, Beijing, menewaskan dua orang dan tiga warga Uighur di dalam mobil.

Walau jumlah korban meninggal relatif sedikit, kejadian tersebut membangkitkan perlawanan terhadap China. Tahun berikutnya, sebanyak 31 orang ditikam oleh sejumlah warga Uighur yang bersenjatakan belati di stasiun kereta Kota Kunming, lebih dari 2.000 kilometer dari Xinjiang.

Sebagai balasannya, selama empat tahun terakhir Pemerintah China mengetatkan keamanan terhadap warga Xinjiang. Langkah itu dipandang sebagai yang paling ketat dari negara kepada warganya sendiri.

Hal ini mencakup penggunaan teknologi berskala besar, seperti memasang kamera pengenal wajah, perangkat pemantauan yang mampu membaca isi ponsel, serta pengumpulan data biometrik secara massal.

Tak hanya itu, sanksi hukum diterapkan untuk menekan identitas dan praktik keislaman, antara lain melarang hijab, janggut panjang, pengajaran keagamaan untuk anak-anak, hingga melarang nama-nama Islam.

Kebijakan tersebut menandai perubahan fundamental dalam pemikiran para pejabat Pemerintah China, yaitu separatisme tidak lagi dianggap sebagai masalah individu tertentu, tapi masalah yang inheren pada budaya Uighur dan Islam secara umum.

Hal ini mengemuka ketika Pemerintah China di bawah Presiden Xi Jinping mengetatkan kendali terhadap masyarakat sehingga kesetiaan terhadap Partai Komunis harus didahulukan ketimbang loyalitas kepada keluarga dan agama.

Kondisi itu membuat identitas komunitas Muslim Uighur menjadi sasaran kecurigaan. Apalagi ada sejumlah laporan kredibel bahwa ratusan orang Uighur bertolak ke Suriah untuk bertempur bersama beragam kelompok milisi.

Kini sudah menjadi pemandangan umum ketika warga Uighur digeledah di jalan-jalan dan pos-pos pemeriksaan kendaraan, sementara warga etnik Han kerap lolos dari pengecekan serupa.

Lebih jauh, warga Uighur dikenai pelarangan perjalanan, baik di dalam Xinjiang maupun ke luar wilayah tersebut. Bahkan ada perintah resmi yang memaksa warga Uighur menyerahkan paspor ke polisi untuk "diamankan".

Soal agama, para pejabat Pemerintah Uighur dilarang mempraktikkan rukun Islam, baik beribadah di masjid maupun berpuasa saat Ramadan.

Lantaran semua langkah ini sudah ditempuh, mungkin tak mengherankan apabila China mendirikan kamp-kamp penahanan—solusi lebih keras untuk memperlakukan warga Uighur yang dianggap tidak setia.

Walau dibantah Pemerintah CHina, keberadaan kamp-kamp penahanan ini dikuatkan oleh berbagai informasi dari pejabat-pejabat China sendiri.

Sejumlah petugas menghentikan kendaraan yang ditumpangi wartawan BBC. (Foto: BBC)

Dokumen pengadaan proyek pembangunan kamp-kamp yang diterbitkan pemerintah setempat ditemukan secara daring oleh akademisi di Jerman, Adrian Zenz. Halaman demi halaman dokumen tersebut merinci proyek konstruksi atau pengubahan puluhan fasilitas serupa di seantero Xinjiang.

Dokumen itu juga menyebutkan permintaan pemasangan komponen keamanan secara komprehensif, seperti menara pengawas, kawat berduri, sistem pemantauan, dan kamar-kamar penjaga.

Setelah menyilangkan informasi ini dengan sumber-sumber media lain, Zenz memperkirakan sedikitnya beberapa ratus ribu hingga lebih dari sejuta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya dimasukkan ke kamp-kamp untuk diberi "pendidikan".

Berkas-berkas tersebut tentu tak pernah menyebut fasilitas-fasilitas ini sebagai kamp penahan. Namun pusat pendidikan atau jika diterjemahkan secara akurat, "pusat pendidikan ulang".

Salah satu "pusat pendidikan" yang disebut dalam dokumen itu hampir pasti berkaitan dengan lokasi yang kami kunjungi. Sebuah dokumen pengadaan proyek pada 2017 meminta pemasangan sistem pemanasan untuk "transformasi melalui sekolah pendidikan" di sebuah tempat di Distrik Dabancheng.

Pada kalimat-kalimat eufemisme ini serta pada satuan ukur dan kuantitas yang tampak membosankan, tersirat betapa luasnya perkembangan jaringan kamp penahan massal di Xinjiang.

Lebih lanjut, pada 2002, Reyila Abulaiti bertolak dari Xinjiang ke Inggris untuk mengenyam pendidikan. Dia bertemu seorang pria Inggris, menikah dengannya, menjadi warga negara Inggris, dan membentuk keluarga.

Tahun lalu, ibunya datang mengunjungi untuk menjumpai sang cucu sekaligus jalan-jalan ke London.

Xiamuxinuer Pida (66) adalah mantan insinyur yang berpendidikan tinggi dan lama mengabdi di sebuah perusahaan BUMN China. Dia kembali ke Xinjiang pada 2 Juni lalu.

Xiamuxinuer Pida. (Foto: doc. pribadi)

Namun, karena Xiamuxinuer tak kunjung memberi kabar, Reyila menelepon untuk mengecek apakah ibunya sudah sampai rumah dan baik-baik saja. Kabar yang diterima Reyila singkat dan menakutkan.

"Dia memberitahu saya bahwa polisi menggeledah isi rumah," kenang Reyila.

Tampaknya justru Reyila yang menjadi sasaran penyelidikan.

Xiamuxinuer mengatakan, Reyila harus mengirim salinan dokumen-dokumennya, antara lain alamatnya di Inggris, salinan paspor Inggrisnya, nomor ponselnya di Inggris, dan informasi mengenai jurusannya saat berkuliah.

Kemudian setelah memaparkan semua instruksi melalui layanan pesan singkat, Xiamuxinuer mengatakan sesuatu yang membuat Reyila merinding.

"Jangan pernah menelepon ibu lagi. Jangan pernah," ujar Reyila, meniru perkataan Xiamuxinuer.

Reyila Abulaiti. (Foto: doc. pribadi)

Itulah kali terakhir Reyila mendengar suara ibunya. Dia meyakini Xiamuxinuer dimasukkan ke dalam kamp penahanan.

"Ibu saya ditahan tanpa alasan. Sejauh yang saya tahu, Pemerintah Cina ingin menghapus identitas Uighur dari muka bumi."

Koresponden BBC pun melakoni wawancara panjang lebar dengan delapan orang Uighur di luar Cina.

Kesaksian mereka konsisten, seperti kondisi dan keseharian di dalam kamp dan mengapa orang-orang Uighur ditahan.

Kegiatan keagamaan, ketidaksetujuan terhadap pemerintah, dan keterkaitan dengan orang Uighur di luar negeri kelihatannya cukup untuk membuat warga Uighur di Xinjiang dimasukkan ke dalam kamp.

Seperti contoh, Ablet Tursun Tohti. Setiap pagi, ketika pria berusia 29 tahun itu bangun satu jam sebelum fajar, dia dan sesama tahanan punya satu menit untuk beranjak ke lapangan.

Setelah berbaris, mereka disuruh berlari.

"Ada ruangan khusus untuk menghukum mereka yang berlari tidak cukup cepat. Di dalam ruangan ada dua pria, seorang memukul dengan sabuk, lainnya menendang."

Ablet Tursun Tohti. (Foto: doc. pribadi)

Lapangan yang dimaksud Ablet dapat jelas terlihat pada foto kamp melalui satelit. Lokasinya terletak di Kota Hotan, bagian selatan Xinjiang.

"Kami menyanyikan lagu berjudul 'Tanpa Partai Komunis Tidak Ada China Baru'," kata Ablet.

"Dan mereka mengajari kami soal hukum. Jika kami tidak bisa menghapalnya dengan benar, kami dipukuli."

Ablet ditahan selama sebulan pada akhir 2015. Dalam berbagai konteks, dia termasuk yang beruntung.

Pada awal kamp penahanan didirikan, masa "kursus" pendidikan ulang tampaknya lebih pendek. Sebab selama dua tahun terakhir ada sejumlah laporan bahwa tidak ada seorang pun yang dibebaskan dari kamp-kamp tersebut.

Ablet juga bisa dikatakan beruntung karena dia merupakan rombongan warga Uighur yang bisa meninggalkan China. Saat ini, warga Uighur sulit hijrah karena ada penarikan paspor secara besar-besaran.

Ablet memilih mengungsi ke Turki, negara yang memiliki diaspora Uighur cukup besar karena ada keterkaitan budaya dan bahasa.

Dia menceritakan bahwa ayahnya yang berusia 74 tahun dan delapan saudara kandungnya masih ditahan di kamp.

"Tiada yang tersisa di luar," ujarnya.

Abdusalam Muhemet (41) juga menetap di Turki. Dia pernah ditahan polisi di Xinjiang pada 2014 karena mendaraskan ayat Quran dalam sebuah acara pemakaman.

Abdusalam Muhemet. (Foto: doc. pribadi)

Pihak kepolisian belakangan memutuskan untuk tidak mengajukan dakwaan, kata Abdusalam, tapi dirinya tidak bisa dikatakan bebas.

"Mereka mengatakan saya perlu dididik," ucapnya.

Namun, fasilitas tempatnya dididik sama sekali tidak mirip sekolah. Melalui foto satelit, bisa terlihat menara penjaga dan pagar ganda di sekeliling Pusat Pelatihan Pendidikan Hukum Han'airike.

Jika diperhatikan dengan saksama bayangan pada foto itu, bisa ditemukan deretan kawat berduri. Di dalam kamp tersebut, Abdusalam mengaku menjalani latihan fisik sekaligus perundungan dan pencucian otak.

Sementara itu, Ali (bukan nama sebenarnya), adalah salah seorang yang takut berbicara secara terbuka. Pada 2015, pria berusia 25 tahun itu dimasukkan ke dalam kamp setelah polisi menemukan foto perempuan memakai niqab pada ponselnya.

Namun, dia bukan satu-satunya orang yang dijebloskan ke kamp karena alasan remeh.

"Ada seorang perempuan lanjut usia yang dimasukkan ke sana karena pergi ke Mekkah. Lalu ada seorang pria tua yang tidak membayar tagihan airnya tepat waktu," papar Ali.

Lokasi Han'airike. (GMV)

Pada suatu ketika, dalam sebuah sesi latihan fisik, mobil pejabat memasuki kamp dan gerbang terbuka beberapa saat.

"Tiba-tiba, seorang anak kecil lari menuju ibunya yang sedang berlari bersama kami. Sang ibu menghampiri anaknya, memeluknya, dan mulai menangis."

"Kemudian seorang polisi menjambak perempuan itu dan menyeret anak kecil tersebut ke luar kamp."

Berbeda dengan suasana bersih yang ditayangkan stasiun televisi Pemerintah China, kondisi kamp-kamp tersebut sangat kotor.

"Pintu asrama kami dikunci pada malam hari. Tapi tidak ada toilet di dalam. Mereka hanya memberi kami mangkuk," kata Ablet.

Kesaksian sejumlah warga Uighur ini tidak bisa diverifikasi secara independen.

BBC sudah bertanya kepada Pemerintah China mengenai tudingan-tudingan tersebut, namun tidak mendapat jawaban.

Bagi warga Uighur di luar Xinjiang, berita mengenai kondisi di wilayah itu sama sekali kering.

Mengapa demikian? Pasalnya, ketakutan berujung pada kebungkaman.

Laporan adanya orang-orang yang dikeluarkan dari kelompok bincang keluarga di layanan pesan singkat, atau diminta jangan pernah menelpon lagi, banyak bermunculan.

Dua hal paling utama dalam kebudayaan Uighur—agama dan keluarga—dirusak secara sistematis.

Akibat penahanan sejumlah anggota keluarga, laporan-laporan menyebutkan banyak anak ditempatkan di panti asuhan yang dikelola negara.

Lain lagi dengan kisah Bilkiz Hibibullah, yang tiba di Turki pada 2016 dengan kelima anaknya. Putrinya yang bungsu, Sekine Hasan, yang kini berusia 3,5 tahun berada di Xinjiang bersama ayahnya—suami Bilkiz.

Anak itu belum punya paspor. Rencananya, begitu dia punya paspor, seluruh anggota keluarga akan bertemu di Istanbul.

Bilkiz Hibibullah. (Foto: BBC)

Namun, rencana itu tak pernah terwujud. Bilkiz meyakini suaminya ditahan pada 20 Maret tahun lalu. Dia kehilangan kontak dengan keluarganya dan sama sekali tak tahu di mana putrinya berada.

"Tengah malam, setelah semua anak saya yang lain pergi tidur, saya banyak menangis."

"Tiada yang lebih menyengsarakan daripada tidak tahu di mana putri saya berada, apakah dia masih hidup atau meninggal dunia."

"Jika dia bisa mendengar saya sekarang, saya tidak bisa berkata apa-apa kecuali minta maaf."

Bukan mustahil mengungkap rahasia kelam di Xinjiang dengan hanya menggunakan data satelit yang tersedia secara umum.

GMV merupakan sebuah perusahaan dirgantara multinasional yang berpengalaman memantau infrastruktur dari luar angkasa untuk kepentingan Badan Antariksa Eropa dan Komisi Eropa.

Para analis GMV menelisik daftar 101 fasilitas di seantero Xinjiang—yang disebut berbagai laporan media dan riset akademik mengenai kamp pendidikan ulang.

Foto satelit pada 2018 menunjukkan sebuah kamp di Tohtan, tempat Ablet mengaku ditahan. (Foto: BBC)

Secara teliti, mereka memantau pembangunan lokasi baru satu demi satu serta perkembangan fasilitas yang sudah ada. Mereka mengenali dan membandingkan elemen umum, seperti menara pengawas dan pagar pengaman—hal-hal yang diperlukan untuk memantau dan mengendalikan pergerakan orang.

Mereka lalu mengategorikan kemungkinan setiap lokasi menjadi fasilitas keamanan. Alhasil, 44 di antara 101 fasilitas yang ditelisik masuk kategori kemungkinan tinggi atau sangat tinggi.

Foto satelit ke-44 fasilitas itu kemudian dipantau secara berkala dan dibandingkan dengan hasil deteksi pertama kali.

Hasilnya, bangunan yang menjadi tempat penahanan Abdusalem Muhemet tampak berkembang luas.

GMV tidak bisa menyebutkan untuk apa bangunan-bangunan itu didirikan. Namun, jelas bahwa selama beberapa tahun terakhir China membangun banyak fasilitas keamanan baru dengan laju kecepatan menakjubkan.

Akan tetapi, tren terkini menunjukkan Pemerintah CHina tampak memperluas bangunan yang ada—alih-alih menambah proyek konstruksi. Jumlah bangunan baru tahun ini turun dibandingkan dengan data 2017.

Dalam konteks luas bangunan yang sudah diciptakan, jumlahnya melampaui tahun lalu.

Dari 44 bangunan yang sudah ada, GMV menghitung fasilitas di Xinjiang meluas hingga 440 hektare sejak 2003.

Perhitungan ini merujuk pada seluruh area di dalam dinding eksternal, tidak hanya bangunan.

Sebagai konteks, jika 14 hektare dibangun di dalam Kota Los Angeles yang mencakup luasan Rumah Tahanan Twin Towers dan Penjara Pria, fasilitas itu bisa menampung 7.000 tahanan.

Kami menunjukkan temuan GMV mengenai peningkatan luas fasilitas Dabancheng kepada para arsitek di lembaga Guymer Bailey yang berpengalaman merancang bangunan penjara.

Para arsitek itu kemudian memperkirakan bahwa fasilitas di Dabancheng bisa menyediakan tempat untuk minimal 11.000 tahanan.

Jumlah itu setara dengan beberapa penjara terbesar di dunia. Penjara Riker's Island di New York, yang merupakan penjara terbesar di Amerika Serikat, misalnya, mampu menampung 10.000 tahanan.

Penjara Silivri dekat Istanbul, Turki, yang sering disebut-sebut sebagai penjara terbesar di Eropa, didesain untuk menampung 11.000 tahanan.

Selain mengukur berapa banyak tahanan bisa muat di dalam fasilitas di Dabancheng, para arsitek Guymer Bailey menyediakan analisa megenai fungsi beragam bangunan berdasarkan foto-foto satelit.

Perkiraan mereka menyebutkan para tahanan mendekam di sel-sel untuk satu orang. Jika mereka ditahan di ruangan lebih besar, maka kapasitas total di Dabancheng akan meningkat secara dramatis, hingga 130.000 tahanan.

BBC juga menunjukkan foto-foto satelit fasilitas di Dabancheng kepada Raphael Sperry—seorang arsitek sekaligus ketua organisasi arsitek/perancang/perencana untuk tanggung jawab sosial.

"Ini fasilitas yang sangat besar dan kelam," ujar Sperry.

"Kelihatannya dibangun sebagai tempat untuk menampung orang sebanyak-banyaknya ke dalam area kecil dengan biaya konstruksi terendah."

"Saya pikir 11.000 orang adalah perkiraan yang rendah. Dari informasi yang ada, kita tidak tahu bagaimana konfigurasi interior atau bagian bangunan mana yang digunakan untuk menahan orang atau tujuan lain. Bagaimanapun, perkiraan bahwa tempat ini bisa menampung 130.000 orang, sedihnya, cukup mungkin," tambahnya.

Kurangnya akses ke lokasi membuat BBC tak bisa memverifikasi secara independen analisis tersebut.

Soal fasilitas, tak semua fasilitas penahanan di Xinjiang serupa satu sama lain. Beberapa fasilitas tidak dibangun dari nol, namun dialihfungsikan dari bangunan sebelumnya, seperti sekolah atau pabrik.

Fasilitas seperti ini kerap lebih kecil dan lebih dekat ke pusat kota.

Di Distrik Yining, BBC mencoba mengunjungi kamp-kamp semacam itu.

Di pusat kota, ada sekumpulan bangunan besar yang sebelumnya merupakan SMP 3 Yining. Sebuah pagar tinggi berwarna biru dan solid kini mengelilingi tempat itu dan ada pengamanan ketat di gerbang depan.

Di lapangan bermain terdapat menara pengawas baru dan bangunan serupa di tempat yang dulunya lapangan sepak bola. Lapangan itu kini seluruhnya ditutupi bangunan tinggi beratap baja.

Lokasi Yining. (Foto: BBC)

Di luar, anggota keluarga yang berkunjung sedang mengantre di pos pemeriksaan. Saat BBC berupaya mengambil gambar di salah satu kamp yang dikelilingi paar abu-abu, mereka diberhentikan polisi.

Para petugas memberitahu, sembari menutupi lensa kamera dengan tangan, bahwa ada latihan militer penting yang tengah berjalan di area tersebut dan koresponden BBC diminta pergi.

Di luar bekas sekolah, ada seorang ibu dan dua anak berdiri dekat pagar tanpa mengatakan apa-apa. Salah seorang petugas berupaya mencegah mereka berbicara, namun seorang petugas lainnya mempersilakan.

"Biarkan mereka bicara," katanya.

Saat ditanya siapa yang mereka kunjungi, mereka bungkam. Namun seorang bocah pria menyergah, "Ayah saya".

Tangan-tangan para petugas kembali menutupi kamera koresponden BBC.

Di Kota Kashgar, yang dulunya merupakan jantung budaya komunitas Uighur, jalan-jalan begitu senyap. Sebagian besar pintu rumah digembok.

Pada salah satu pintu, terlihat selebaran pemberitahuan yang menginstruksikan kepada orang-orang bagaimana menanggapi pertanyaan mengenai keberadaan anggota keluarga mereka.

"Katakan, mereka sedang diurus demi kebaikan masyarakat dan keluarga mereka," sebut selebaran itu.

Masjid utama kota itu juga sunyi seperti museum. Koresponden BBC mencoba mencari tahu jam berapa jadwal salat berikutnya, namun tidak seorang pun yang mau memberitahu.

"Saya di sini hanya berurusan dengan turis. Saya tidak tahu apa-apa soal jadwal salat," kata salah seorang petugas.

Di alun-alun, beberapa pria manula tak berjanggut sedang duduk sambil mengobrol. saat ditanya di mana yang lain, salah satu dari mereka menunjuk mulutnya dan mengatupkan bibir rapat-rapat sebagai tanda terlalu riskan baginya untuk berbincang dengan wartawan.

Namun, salah seorang lainnya berbisik, "Tidak ada lagi yang datang."

Dari kejauhan, kami melihat seorang polisi berhelm sedang mengepel tangga masjid. Suara ceburan air di dalam ember dan bunyi pel meluncur terdengar menggema di alun-alun.

Perilaku polisi itu kemudian diabadikan oleh sejumlah turis China dengan kamera mereka.

BBC meninggalkan Kashgar melalui jalan tol, menuju barat daya ke daerah yang ditandai desa dan pertanian kaum Uighur serta bangunan yang diduga kamp penahanan.

Namun ternyata jalan tol tampaknya diblokir. Para polisi yang menjaga blokade jalan tol memberitahu bahwa permukaan jalan meleleh akibat terik matahari.

"Tidak aman melanjutkan perjalanan," kata mereka.

Pada saat bersamaan, terlihat mobil-mobil lain dialihkan ke parkir kendaraan di pusat perbelanjaan dan melalui suara radio kami mendengar instruksi untuk menahan mereka "selama beberapa waktu".

Di jalur jalur alternatif lain, lagi-lagi ada blokade jalan, meskipun penjelasannya berbeda-beda. Di sebuah blokade jalan, petugas mengatakan penutupan itu dilakukan karena ada "latihan militer".

Editor: Nathania Riris Michico

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut