Direbut Taliban, Nilai Peralatan Militer Peninggalan AS Tembus Rp1.200 Triliun
KABUL, iNews.id – Kepergian pasukan Amerika Serikat dan NATO dari Afghanistan, bulan lalu, menyisakan sejumlah “peninggalan” di negara yang kini dikuasai Taliban itu. Di antaranya berupa peralatan militer AS yang nilainya mencapai ratusan triliun bahkan mungkin menembus 1.200 triliun rupiah.
Setelah menguasai Afghanistan, Taliban kini dilaporkan memiliki lebih dari 2.000 kendaraan lapis baja dan hingga 100 pesawat tempur (termasuk UH-60 Black Hawk Amerika dan Mi-17 Rusia).
Awalnya, beberapa kalangan beranggapan ribuan kendaraan militer “warisan” Barat itu tidak akan berguna bagi Taliban karena kurangnya operator yang berpengalaman untuk mengoperasikannya. Namun, faktanya tidak demikian. Sebuah parade yang digelar Taliban di Kandahar belum lama ini menunjukkan, mereka ternyata mampu melatih operator kendaraan itu, termasuk pilot helikopter.
Keahlian Taliban dengan peralatan militer Amerika menunjukkan, kelompok itu berhasil merekrut anggota Tentara Nasional Afghanistan—yang sebelumnya dilatih AS. Selain itu, banyak pula lembaga menyebut Taliban mendapatkan dukungan dari negara-negara lain.
“Dukungan asing ini akan memungkinkan Taliban memiliki akses tambahan ke operator dan instruktur kendaraan yang berpengalaman,” ungkap pakar militer AS, Vikram Mittal, dalam artikelnya Taliban Won’t Gain Much From U.S. Military Equipment Left In Afghanistan yang dimuat Forbes, Rabu (8/9/2021).
Kendati demikian, dia tidak begitu yakin berbagai peralatan yang ditinggalkan Amerika tersebut bakal memberi nilai tambah yang siginifikan bagi kekuatan militer Taliban. Pada akhirnya, kata Mittal, nasib alutsista itu akan berakhir seperti kuburan peralatan tempur Uni Soviet yang ditinggalkan di berbagai wilayah Afghanistan pada 1989.
Dalam paradenya di Kandahar beberapa waktu lalu, Taliban memang dapat mengoperasikan Humvee lapis baja. Namun, kendaraan itu boleh dibilang sudah jarang dipakai Angkatan Darat AS lantaran kurangnya perlindungannya dari bom pinggir jalan.
Taliban juga sah-sah saja memamerkan beberapa peralatan militer baru yang mereka rebut selama berkuasa, termasuk kendaraan perlindungan penyergapan tahan ranjau, helikopter Black Hawk, dan drone pengumpul intelijen.
“Tapi harus diperjelas bahwa Amerika Serikat tidak memberikan peralatan paling mutakhir di dunia kepada Tentara Nasional Afghanistan. Kendaraan ini semuanya telah dilucuti dari elektronik sensitif sebelum diberikan kepada Angkatan Darat Afghanistan atau ditinggalkan oleh pasukan NATO,” ujar Mittal.
Selain itu, kata dia, ada ketidakselarasan antara kemampuan kendaraan tempur tersebut dan jenis operasi yang akan dilakukan Taliban. Sebagai contoh, Taliban telah menghabiskan minggu lalu bertempur di Lembah Panjshir. Meskipun mereka mengklaim telah merebut provinsi itu dari kelompok oposisi, pertempuran kemungkinan akan berlanjut.
“Lereng curam di lembah dan kurangnya jalan membuat penggunaan kendaraan militer berat dan helikopter menjadi beban. Selain itu, para pejuang (oposisi) di Panjshir sudah mengetahui kelemahan kendaraan dan cara memanfaatkannya dengan bom pinggir jalan dan drone,” ucap Mittal.
Persoalan tak cukup sampai di itu. Semua kendaraan militer peninggalan AS itu juga membutuhkan sejumlah besar perawatan—yang kemungkinan besar tidak akan dapat diberikan oleh Taliban bahkan dengan bantuan asing. Pemeliharaannya membutuhkan keahlian teknis dan akses ke alat dan suku cadang khusus.
Sebelum diambil alih oleh Taliban, kata Mittal, Tentara Nasional Afghanistan memanfaatkan dukungan kontraktor untuk keahlian teknis mereka dan; saluran pasokan Amerika untuk pengadaan peralatan dan suku cadang. Pascapenarikan pasukan NATO, banyak dari kontraktor tersebut memilih untuk pergi juga. Akibatnya banyak kendaraan yang bakal rusak karena kurangnya perawatan.
Masalah pemeliharaan itu semakin diperumit dengan kebutuhan akan alat-alat dan suku cadang. Karena banyak dari kendaraan tempur itu milik Amerika, kecil kemungkinan Taliban akan memiliki akses ke barang-barang suku cadangnya. Bahkan dengan akses ke saluran pasokan, barang-barang tersebut lebih cenderung berakhir di pasar gelap daripada di ruang perawatan.
“Ini adalah masalah umum yang dihadapi oleh Tentara Nasional Afghanistan dan dapat juga menjadi masalah bagi Taliban. Mengingat tantangan pemeliharaan ini, kecil kemungkinan Taliban akan mampu menjaga kendaraan ini tetap beroperasi,” kata Mittal.
Di luar itu semua, muncul pula keluhan tentang banyaknya uang yang terbuang untuk semua alutsista tersebut. Beberapa analis menyebut biaya yang telah dikeluarkan Amerika untuk semua alutsista itu selama 20 tahun ini mencapai 85 miliar dolar AS (Rp1.212,34 triliun). Jika dikalkulasi ulang, harganya sekarang diperkirakan menyusut menjadi 18 miliar dolar AS (Rp Rp256,73 triliun).
Sederhananya, kata Mittal, parade kendaraan militer yang digelar Taliban beberapa waktu lalu tak lebih dari propaganda semata. Pasalnya, alat-alat itu tidak memiliki fungsionalitas penuh layaknya yang digunakan militer modern; tidak begitu berguna untuk operasi mereka saat ini, dan; akan pada akhirnya terbengkalai begitu saja tanpa perawatan yang tepat.
Editor: Ahmad Islamy Jamil