Habiskan Rp11.317 Triliun, Bisnis Perang Jadi Mesin Uang di Tengah Krisis Global
STOCKHOLM, iNews.id - Dunia mungkin diguncang krisis ekonomi, perang berkepanjangan, dan ketegangan geopolitik, namun satu sektor justru menikmati masa keemasan, industri persenjataan global. Laporan terbaru Institut Riset Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) mengungkap penjualan senjata dan jasa militer dari 100 perusahaan pertahanan terbesar dunia mencapai 679 miliar dolar AS atau sekitar Rp11.317 triliun sepanjang 2024, angka tertinggi sepanjang sejarah.
Di saat banyak sektor terpukul inflasi dan perlambatan ekonomi, bisnis perang justru menjadi mesin uang, tumbuh 5,9 persen dibandingkan 2023.
Perang Gaza dan Ukraina Jadi Pendorong Utama
Konflik besar yang berlangsung paralel, perang Rusia-Ukraina dan agresi Israel di Gaza, menjadi faktor paling dominan pendorong lonjakan ini. Negara-negara yang terlibat, maupun sekutu-sekutunya, berbondong-bondong membeli amunisi, drone, artileri, sistem pertahanan udara, hingga kapal perang.
SIPRI mencatat permintaan senjata kini bukan hanya untuk memperkuat pertahanan, tetapi juga untuk mengganti persediaan amunisi yang telah habis ditembakkan di dua front perang terbesar dunia.
AS dan Eropa: Pusat Keuntungan Terbesar
Sebagian besar kue keuntungan dinikmati perusahaan-perusahaan Barat.
Nama-nama seperti Lockheed Martin, Northrop Grumman, dan General Dynamics terus mendominasi pasar global. Namun, proyek raksasa seperti F-35 dan kapal selam Columbia masih terganggu pembengkakan biaya dan penundaan.
Eropa
Lonjakan terbesar datang dari Czechoslovak Group, yang naik 193 persen setelah memproduksi peluru artileri untuk Ukraina.
Rusia: Tumbuh Pesat Meski Dihujani Sanksi Barat
Di tengah blokade ekonomi dan embargo teknologi, dua raksasa senjata Rusia, Rostec dan United Shipbuilding Corporation, justru mencatat kenaikan pendapatan gabungan 23 persen, menjadi 31,2 miliar dolar AS.
Pertumbuhan ini memperlihatkan bahwa sanksi Barat tidak berhasil menurunkan kemampuan produksi militer Rusia.