Korsel Tolak Pernyataan Presiden China Xi Jinping soal Menjajah Korut
SEOUL, iNews.id - Korea Selatan (Korsel) tidak terima dengan pernyataan Presiden China Xi Jinping bahwa negara itu menjajah Korea Utara (korut) dalam Perang Korea. Xi dianggap telah memutarbalikkan sejarah saat berpidato memperingati 70 tahun Perang Korea pekan lalu.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Korea Selatan Kang Kyung Wha menganggap pernyataan Xi itu tidak akurat. Dalam pidatonya Xi mengatakan, China berperang melawan penjajah imperialis selama Perang Korea yang berlangsung pada 1950-1953.
Saat itu China dan Uni Soviet berperang membantu Korut menghadapi Korsel yang didukung Amerika Serikat (AS) serta negara Barat di bawah PBB.
"Perdebatan internasional tentang hal ini telah dihentikan," kata Kang, dalam pernyataannya kepada parlemen.
Dia menegaskan Korut lah yang memulai peperangan bersama sekutunya Uni Soviet dan China dengan menyerang Korsel.
"Fakta tersebut dengan jelas dinyatakan dan diakui oleh Dewan Keamanan PBB. Kami melakukan langkah-langkah komunikasi yang diperlukan dengan China mengenai masalah ini," ujarnya.
Menteri Pertahanan Korsel Suh Wook juga menegaskan penolakan atas klaim Xi tersebut.
"Jelas sekali Korut yang menginvasi Korsel, di bawah dorongan Stalin dan Mao Zedong," kata Suh, di kesempatan yang sama.
Anggota parlemen oposisi Korsel mendesak pemeritah memanggil duta besar China di Seoul untuk menjelaskan soal pernyataan Xi itu.
"Setelah pertempuran yang berat, angkatan bersenjata China dan DPRK (Korut) mengalahkan lawan yang bersenjata lengkap dan mematahkan mitos bahwa militer AS tidak terkalahkan," kata Xi, dalam pidatonya, seperti dilaporkan Global Times, media Partai Komunis China.
Pada Oktober 1950, pasukan China melintasi perbatasan Korut di Sungai Yalu untuk melawan pasukan koalisi PBB yang dipimpin AS.
Menurut klaim China, sekitar 200.000 pasukannya tewas dalam Perang Korea, namun data AS menyebutkan 900.000 orang.
Perang Korea berakhir dengan kesepakatan gencatan senjata pada 1953. Secara teknis, Korut dan Korsel masih berstatus perang hingga saat ini karena belum meneken perjanjian damai.
Editor: Anton Suhartono