Pasien di Negara Ini Boleh Bunuh Diri dengan Bantuan, kok Bisa?
WINA, iNews.id - Austria memperbolehkan seseorang dengan kondisi khusus melakukan bunuh diri menggunakan bantuan. Undang-undang baru ini telah disahkan parlemen pada Desember lalu dan berlaku efektif mulai 1 Januari 2022.
Tidak sembarangan orang bisa bunuh diri dengan bantuan sesuai aturan baru tersebut, melainkan hanya pasien sakit parah berusia di atas 18 tahun yang telah menjalani serangkaian persetujuan dari otoritas terkait.
Menurut UU yang baru, seperti dikutip dari RT, Minggu (2/1/2022), mereka yang berhak bunuh diri dengan bantuan adalah pasien menderita penyakit mematikan dan tidak bisa disembuhkan atau penyakit permanen serius dengan efek melemahkan yang tidak bisa disembuhkan. Mereka berhak mengajukan permohonan bunuh diri dengan bantuan.
Sebagai persyaratan untuk bisa menjalani bunuh diri dengan bantuan, pasien harus menyerahkan hasil diagnosis penyakit serta bisa meyakinkan bahwa keputusan yang mereka buat terbebas dari pelanggaran, penipuan, paksaan fisik maupun psikologis, serta pengaruh pihak ketiga.
Anak di bawah umur atau mereka yang memiliki kondisi kesehatan mental tidak masuk dalam UU baru ini.
Setelah mendapatkan persetujuan dari dua dokter, salah satunya harus memiliki kualifikasi dalam pengobatan paliatif, pasien diberi waktu 12 pekan untuk merenungkan keputusan yang mereka ambil. Sementara bagi pasien dengan kasus penyakit parah mematikan diberi waktu 2 pekan.
Setelah itu, mereka harus memberi tahu pengacara atau notaris guna mendokumentasikan semua tahapan proses. Pemohon kemudian akan diberi resep obat yang mematikan.
Daftar apotek yang menjual obat-obatan tersebut akan terus dipantau dan diperbarui oleh Asosiasi Apoteker Austria. Namun daftar apotek ini tak akan diketahui publik untuk mencegah penyalahgunaan.
Menteri Kesehatan Austria Wolfgang Muckstein sebelumnya mengatakan, tujuan utama pemerintah memberlakukan UU ini untuk memastikan pemenuhan hak dasar warganya dalam menentukan nasib sendiri, sambil mengambil semua tindakan pencegahan yang diperlukan.
UU tersebut mendapat kritik dari beberapa pihak. Gereja Katolik menyampaikan keprihatinan serius atas penerapannya. Pengamat lainnya menilai, masa perenungan selama 12 pekan dianggap terlalu singkat.
Editor: Anton Suhartono