Pemakzulan Wapres Filipina Sara Duterte: Upaya Hukum atau Balas Dendam Politik?
Marcos Bungkam, tapi...
Presiden Ferdinand Marcos Jr sendiri membantah ada intervensi dari pihak eksekutif dalam proses hukum tersebut. Istana Malacañang menyatakan bahwa Mahkamah Agung sebagai lembaga yudisial independen harus dihormati keputusannya.
Namun, ketegangan antara Marcos dan Duterte sudah mencuat sejak tahun lalu, ketika Sara mengundurkan diri dari Kabinet dan mengkritik arah kebijakan istana. Perseteruan inilah yang diduga menjadi pemicu utama perpecahan elite, yang berujung pada pemakzulan.
Siapa di Balik Pemakzulan?
Parlemen Filipina, terutama Majelis Rendah, terbelah dalam dua faksi besar: loyalis Duterte dan pendukung Marcos. Fakta bahwa lebih dari 200 anggota DPR menyetujui pemakzulan terhadap Sara dalam upaya keempat, menimbulkan spekulasi bahwa langkah tersebut sudah terkoordinasi secara politik, bukan hanya berlandaskan keadilan.
Pengamat politik Filipina menyebut pemakzulan ini lebih menyerupai ujian kekuatan antar-faksi elite, daripada misi membongkar kejahatan negara.
“Pemakzulan Sara tampak lebih sebagai bentuk pembersihan menjelang 2028 ketimbang upaya menegakkan hukum,” kata Prof Arnel Cuenca, pengamat politik dari UP Diliman.
Jalan Menuju 2028 Makin Terbuka
Dengan pemakzulan yang gagal, Sara Duterte kini berada dalam posisi lebih kuat. Dia tetap bisa mencalonkan diri dalam Pilpres 2028, sebuah peluang yang nyaris tertutup jika Mahkamah Agung mengesahkan pemakzulan tersebut.
Sementara ayahnya, Rodrigo Duterte, tengah ditahan di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, Sara justru berpeluang melanjutkan dinasti politik Duterte di tingkat nasional.
Putusan Mahkamah Agung memang menegakkan konstitusi, tapi pemakzulan Sara Duterte telah membuka mata publik bahwa hukum dan politik di Filipina seringkali berjalan berdampingan dan saling memanfaatkan.
Editor: Anton Suhartono