Pemakzulan Wapres Filipina Sara Duterte: Upaya Hukum atau Balas Dendam Politik?
MANILA, iNews.id - Pemakzulan Wakil Presiden Filipina Sara Duterte yang dibatalkan Mahkamah Agung pada Jumat (25/7/2025) menyisakan pertanyaan besar di balik dunia politik Filipina, apakah ini murni proses hukum atau hanya alat politik untuk menjegal karier Sara?
Putri mantan Presiden Rodrigo Duterte itu lolos dari jeratan pemakzulan yang sempat mengancam masa depannya di pentas politik nasional, termasuk peluangnya maju dalam pemilihan presiden 2028.
Tuduhan Berat, tapi Batal Dimakzulkan
Sara Duterte sebelumnya dimakzulkan oleh parlemen pada Februari 2025 atas tuduhan serius: penyalahgunaan dana publik, pengumpulan kekayaan secara tidak sah, hingga dugaan ancaman pembunuhan terhadap Presiden Ferdinand Marcos Jr dan keluarganya. Namun dalam putusan Mahkamah Agung Filipina pada Jumat (25/7/2025), pemakzulan itu dinyatakan inkonstitusional.
Alasannya, pemakzulan terhadap Sara merupakan pengaduan keempat dalam satu tahun, yang melanggar batasan konstitusional yang mengizinkan hanya satu upaya pemakzulan terhadap seorang pejabat dalam kurun waktu 12 bulan.
“Pasal-pasal pemakzulan, yang merupakan pengaduan keempat, melanggar larangan satu tahun karena ada tiga pengaduan sebelumnya,” ujar Camille Ting, Juru Bicara Mahkamah Agung.
Politik Balas Dendam?
Putusan tersebut tidak secara otomatis membebaskan Sara dari semua tuduhan. Namun, yang menjadi sorotan adalah bagaimana pemakzulan ini dilaksanakan dan kapan itu terjadi.
Sara menyebut proses pemakzulan sebagai manuver politik terselubung, muncul di tengah konflik terbuka dengan Presiden Marcos Jr. Ketegangan antara dua figur besar ini bukan rahasia lagi. Bahkan, kubu Sara meyakini bahwa proses pemakzulan tak lepas dari upaya sistematis untuk menggembosi pengaruhnya jelang pemilu presiden 2028.
“Keputusan bulat ini sekali lagi menegakkan supremasi hukum dan memperkuat batasan konstitusional terhadap penyalahgunaan proses pemakzulan,” kata pengacara Sara.
Marcos Bungkam, tapi...
Presiden Ferdinand Marcos Jr sendiri membantah ada intervensi dari pihak eksekutif dalam proses hukum tersebut. Istana Malacañang menyatakan bahwa Mahkamah Agung sebagai lembaga yudisial independen harus dihormati keputusannya.
Namun, ketegangan antara Marcos dan Duterte sudah mencuat sejak tahun lalu, ketika Sara mengundurkan diri dari Kabinet dan mengkritik arah kebijakan istana. Perseteruan inilah yang diduga menjadi pemicu utama perpecahan elite, yang berujung pada pemakzulan.
Siapa di Balik Pemakzulan?
Parlemen Filipina, terutama Majelis Rendah, terbelah dalam dua faksi besar: loyalis Duterte dan pendukung Marcos. Fakta bahwa lebih dari 200 anggota DPR menyetujui pemakzulan terhadap Sara dalam upaya keempat, menimbulkan spekulasi bahwa langkah tersebut sudah terkoordinasi secara politik, bukan hanya berlandaskan keadilan.
Pengamat politik Filipina menyebut pemakzulan ini lebih menyerupai ujian kekuatan antar-faksi elite, daripada misi membongkar kejahatan negara.
“Pemakzulan Sara tampak lebih sebagai bentuk pembersihan menjelang 2028 ketimbang upaya menegakkan hukum,” kata Prof Arnel Cuenca, pengamat politik dari UP Diliman.
Jalan Menuju 2028 Makin Terbuka
Dengan pemakzulan yang gagal, Sara Duterte kini berada dalam posisi lebih kuat. Dia tetap bisa mencalonkan diri dalam Pilpres 2028, sebuah peluang yang nyaris tertutup jika Mahkamah Agung mengesahkan pemakzulan tersebut.
Sementara ayahnya, Rodrigo Duterte, tengah ditahan di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, Sara justru berpeluang melanjutkan dinasti politik Duterte di tingkat nasional.
Putusan Mahkamah Agung memang menegakkan konstitusi, tapi pemakzulan Sara Duterte telah membuka mata publik bahwa hukum dan politik di Filipina seringkali berjalan berdampingan dan saling memanfaatkan.
Editor: Anton Suhartono