Perang 2 Tahun Bikin Ekonomi Sudan Kembali ke Zaman Kuno
KHARTUM, iNews.id - Dua tahun perang saudara tak hanya menghancurkan kota-kota di Sudan, tapi juga menyeret perekonomian negara itu kembali ke era pra-modern. Sistem keuangan ambruk total, mata uang kehilangan nilai, dan warga kini mengandalkan barter untuk memenuhi kebutuhan hidup paling dasar.
Dalam perkembangan terbaru, lebih dari 50.000 warga sipil mengungsi dari tiga wilayah di Negara Bagian Kordofan karena memburuknya situasi keamanan.
Badan PBB Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyatakan, total 50.445 orang mengungsi dari wilayah Kordofan antara 25 Oktober hingga 17 Desember 2025.
Ttim pelacak pengungsi mendokumentasikan 39 insiden yang memicu gelombang pengungsian dari wilayah tersebut sejak 25 Oktober. Sekitar 40.350 orang mengungsi dari enam lokasi di Kordofan Utara, 9.845 dari sembilan lokasi di Kordofan Selatan, dan 250 dari Kordofan Barat.
Pihak berwenang Sudan, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan kelompok hak asasi manusia lokal dan internasional menuduh Pasukan Pendukung Cepat (RSF) melakukan serangan brutal dan pemerkosaan di beberapa kota di wilayah tersebut.
Konflik antara pasukan pemerintah dan RSF terus membesar, terutama setelah RSF berhasil menduduki Kota El Fasher yang sebelumnya dikuasai pemerintah beberapa bulan lalu. Serangan brutal dan pembunuhan ribuan warga sipil menambah panjang deret kesengsaraan rakyat Sudan.
Uang Tak Lagi Bernilai
Di banyak wilayah Sudan, uang kertas praktis tak lagi memiliki fungsi sebagai alat tukar. Sistem perbankan yang hancur membuat transaksi tunai tak dapat dilakukan.
“Saya tidak memegang uang kertas selama lebih dari 9 bulan,” kata Ali, seorang pegawai negeri sipil (PNS).
Barang rumah tangga yang dulu dianggap biasa, seperti kursi, cangkul, atau peralatan dapur, kini berubah menjadi “mata uang” baru.
Ali bahkan pernah menukar cangkul dan kursi dengan tiga karung sorgum (sereal), sementara warga lain menukar barang-barang seperti tepung, gula, atau jagung untuk mendapatkan layanan sehari-hari.
Transportasi Bayar Sabun dan Bahan Bakar
Tak hanya membeli makanan, biaya transportasi pun dibayar dengan barang.
“Pengemudi ojek dan tuk-tuk sekarang dibayar dengan bahan bakar atau sabun,” ungkap Al Sadiq Issa, seorang relawan lokal.
Bengkel motor, tukang kayu, hingga pedagang kecil menerima pembayaran berupa makanan, solar, atau barang kebutuhan rumah tangga. Sudan kini sepenuhnya bergantung pada sistem barter seperti masyarakat pra-modern.
Bank Sentral Hangus, Ekonomi Lumpuh Total
Kekacauan ekonomi ini tak lepas dari tumbangnya sistem perbankan Sudan. Ketika pertempuran pecah pada 2023 di Khartoum, Bank Sentral Sudan, yang terhubung dengan jaringan antarbank internasional SWIFT, dibakar dan kemudian diduduki kelompok pemberontak selama hampir 2 tahun sebelum dibebaskan.
Bank-bank komersial ditutup atau dijarah hingga brankasnya kosong, membuat warga tak memiliki akses sama sekali ke tabungan, transaksi, atau layanan keuangan dasar.
Akibat runtuhnya ekonomi, nilai mata uang Sudan merosot drastis. Sebelum perang, 1 euro bernilai sekitar 450 pounds Sudan. Kini, di pasar gelap, 1 euro melonjak menjadi 3.500 pounds, lonjakan yang menandai kehancuran total nilai tukar.
Kehidupan Warga: Bertahan di Tengah Negara yang Runtuh
Ketika negara tak lagi dapat menyediakan layanan dasar, warga Sudan dipaksa mengandalkan jaringan sosial, lembaga bantuan lokal, atau barter pribadi untuk bertahan hidup. Banyak keluarga hidup dalam isolasi, dikepung konflik, tanpa akses ke bank, uang tunai, atau pasar yang berfungsi.
Perang yang tak kunjung selesai kini tidak hanya memakan korban jiwa, tetapi juga memundurkan roda peradaban ekonomi Sudan puluhan tahun ke belakang. Dari kota hingga pedesaan, rakyat hidup seolah kembali ke zaman ketika barang ditukar dengan barang, bukan karena pilihan, tetapi karena tak ada sistem lain yang masih berdiri.
Dari 18 negara bagian Sudan, RSF mengendalikan lima negara bagian di wilayah Darfur, kecuali beberapa bagian di Darfur Utara yang tetap berada di bawah kendali pemerintah pusat. Militer menguasai sebagian besar wilayah dari 13 negara bagian lain di selatan, utara, timur, dan tengah, termasuk Ibu Kota Khartum.
Konflik antara militer Sudan dan RSF, yang dimulai pada April 2023, telah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan jutaan lainnya mengungsi.
Editor: Anton Suhartono