Perang yang Pernah Gunakan Senjata Nuklir, Akankah Terulang di Konflik Ukraina?
Rusia Pemilik Hulu Ledak Nuklir Terbanyak
Departemen Luar Negeri (Deplu) Amerika Serikat (AS) pada Oktober lalu merilis jumlah hulu ledak nuklir yang dimilikinya. Itu merupakan pengungkapan pertama kali sejak 4 tahun atau setelah mantan Presiden Donald Trump menyembunyikan datanya. Hingga 30 September 2020, militer AS memiliki 3.750 hulu ledak nuklir aktif dan tidak aktif, turun 55 unit dibandingkan pada 2019 dan 72 unit dibandingkan pada 2017.
Jumlah hulu ledak nuklir AS tersebut merupakan yang terendah sejak mencapai puncaknya saat Perang Dingin dengan Uni Soviet pada 1965, yakni mencapai 31.255 unit.
Deplu AS mengungkap data itu di tengah upaya pemerintahan Presiden Joe Biden untuk memulai kembali pembicaraan kendali senjata dengan Rusia setelah terhenti di bawah pemerintahan Donald Trump.
Trump juga membawa AS keluar dari pakta penting lainnya dengan Rusia yakni New Start Treaty. Kesepakatan ini membatasi jumlah hulu ledak nuklir kedua negara. Berhentinya kesepakatan bisa memicu perlombaan hulu ledak nuklir kedua pihak.
Joe Biden mengusulkan perpanjangan New Start Treaty hingga 5 tahun mendatang dan disetujui mitranya dari Rusia, Vladimir Putin. Kesepakatan ini membatasi 1.550 jumlah hulu ledak nuklir yang dapat digunakan kedua negara.
Sebelumnya Trump juga menarik AS keluar dari perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) dengan Rusia. Trump ingin kesepakatan dibuat baru melibatkan negara lain yang juga memproduksi rudal seperti China.
Berdasarkan data Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm pada Januari 2021, jumlah hulu ledak yang dimiliki AS, termasuk yang sudah tak digunakan, 5.550 unit. Sementara itu Rusia memiliki 6.255, China 350, Inggris 225, dan Prancis 290 hulu ledak. India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara secara gabungan memiliki sekitar 460 hulu ledak nuklir.
Editor: Anton Suhartono