Presiden Macron di Ujung Tanduk: 4 PM Mundur, Siapa Lagi yang Bisa Selamatkan Prancis?
PARIS, iNews.id - Krisis politik di Prancis memasuki babak paling genting. Dalam kurun waktu kurang dari setahun, pemerintahan Presiden Emmanuel Macron telah empat kali berganti perdana menteri, menandakan ketidakstabilan politik paling serius dalam dua dekade terakhir.
Perdana menteri terbaru, Sebastien Lecornu, resmi mengundurkan diri pada Senin (6/10/2025), bahkan sebelum genap sebulan menjabat. Keputusan ini menambah daftar panjang kegagalan Macron menjaga soliditas pemerintahannya setelah tiga pendahulunya juga tumbang dalam waktu singkat.
Empat Kali Ganti Pemerintah, Rekor Buruk Macron
Sebelum Lecornu, posisi perdana menteri telah diisi oleh Francois Bayrou, Gabriel Attal, dan Elisabeth Borne, semuanya mundur dengan alasan yang hampir sama: konflik internal, lemahnya dukungan parlemen, dan tekanan publik yang meningkat.
Istana Elysee mengonfirmasi bahwa Macron telah menerima pengunduran diri Lecornu dan segera memulai konsultasi politik untuk menunjuk pengganti baru. Namun, langkah itu dinilai tidak lagi menyentuh akar persoalan, yaitu krisis kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Macron.
“Empat kali pembubaran kabinet dalam satu tahun menandakan bukan masalah teknis, tapi krisis politik yang sistemik,” ujar analis politik Universitas Sciences Po, Philippe Marlière, dikutip Le Monde.
Ironisnya, pengunduran diri Lecornu terjadi hanya sehari setelah ia mengumumkan bahwa kabinet barunya hampir lengkap. Namun, komposisi yang ditawarkan dinilai copy-paste dari pemerintahan sebelumnya. Partai oposisi menuding Macron tidak serius melakukan reformasi politik.
AS dan Dunia Ikut Memantau
Krisis di jantung politik Eropa ini juga menarik perhatian Amerika Serikat. Gedung Putih menyatakan sedang memantau dengan ketat perkembangan politik di Paris.
“Kami sangat memahami situasi ini, namun tidak akan mengomentari politik dalam negeri Prancis,” kata Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, seperti dikutip dari Sputnik, Selasa (7/10/2025).
Meski bersikap hati-hati, pengamat menilai perhatian Washington menunjukkan kekhawatiran terhadap stabilitas sekutu utamanya di Eropa Barat, terutama di tengah meningkatnya ketegangan global dan konflik Ukraina-Rusia.