Rekor, Penutupan Pemerintahan Kali Ini Terlama dalam Sejarah AS
WASHINGTON, iNews.id - Penutupan pemerintah Amerika Serikat (AS) menyebabkan 800.000 pegawai federal bekerja tanpa digaji sebagai akibat dari perselisihan Presiden Donald Trump dengan Demokrat terkait pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko.
Namun, 'shutdown' kali ini memecahkan rekor terlama karena memasuki hari ke-22 pada Sabtu (12/1/2019).
Penolakan Demokrat untuk menyetujui dana 5,7 miliar dolar AS yang diminta oleh Trump untuk proyek tembok perbatasan itu melumpuhkan Washington, dengan presiden membalas dengan menolak menandatangani anggaran untuk departemen-departemen pemerintah lain yang tidak terkait dengan tembok.
Akibatnya, pekerja federal seperti agen FBI, pengontrol lalu lintas udara, dan staf museum, tidak menerima gaji pertama mereka di 2019 pada Jumat kemarin.
Penutupan sebagian pemerintahan ini menjadi rekor terlama sejak Jumat malam (0500 GMT Sabtu). Sebelumnya rekor 'shutdown' terlama yakni 21 hari pada 1995-1996, di bawah pemeritahan presiden Bill Clinton.
Kemarin, Trump membatalkan serangkaian ancamannya untuk mengakhiri kebuntuan dengan menyatakan darurat nasional dan mengamankan dana tanpa persetujuan kongres.
"Aku tidak akan melakukannya secepat ini," katanya, pada pertemuan di Gedung Putih, seperti dilaporkan AFP.
Trump menggambarkan deklarasi darurat sebagai "jalan keluar yang mudah" dan mengatakan Kongres harus meningkatkan tanggung jawab untuk menyetujui dana 5,7 miliar dolar AS.
"Jika mereka tidak bisa melakukannya saya akan mendeklarasikan keadaan darurat nasional. Saya memiliki hak mutlak," tegasnya.
Beberapa waktu sebelumnya, Senator Republik Lindsey Graham mencuit pembicaraannya dengan Trump.
"Tuan Presiden, Nyatakan darurat nasional SEKARANG," cuitnya, usai bertemu Trump.
Tidak jelas apa yang membuat Trump berubah arah dan membatalkan darurat nasional.
Namun, Trump sendiri mengakui dalam pertemuan Gedung Putih, bahwa upaya untuk mengklaim kekuatan darurat nasional kemungkinan akan berakhir dalam gugatan hukum hingga ke Mahkamah Agung.
Editor: Nathania Riris Michico