Satu Jam Bersama Pak Jusuf Kalla di Vatikan
Kesan pertama saya, Pak JK orangnya sangat ramah, terbuka, komunikatif dan mudah bersahabat. Jadi cepat sekali akrab, seperti sudah pernah bertemu berkali-kali. Apalagi kami sama-sama berasal dari Timur Nusantara. Tidak juga dekat sekali, karena Sulawesi dan Flores jauh. Paling kurang logat bicara kami sama-sama kental ketimuran. Itu sudah sesuatu yang mendekatkan kami secara linguistik. Logat bahasa bisa powerful.
Lantas saya jelaskan kepada Pak JK ada aturan ukur suhu tubuh sebelum pergi lebih jauh dari situ.
Sebenarnya saya sudah klarifikasi hal ini dengan petugas penjaga pintu Quattro Cancelli sebelum kedatangan Pak JK. Tapi ini aturan Vatikan untuk setiap pengunjung tanpa perkecualian. Jadi Pak JK juga harus buat. Ketika menjelaskan ini kepada Pak JK, beliau serta merta mengatakan: ‘Tidak apa-apa Romo. Tadi saya juga sudah ukur suhu sebelum bertemu dengan Paus. Tapi ini kan aturan di sini.
Saya merasa lega dan berkata dalam hati: Pak JK ini luar biasa. Sangat sadar dan patuh aturan. Beliau memberikan contoh yang baik. Sebenarnya ukur suhu tubuh juga tidak repot-repot. Jalan tiga meter ke titik telapak kaki. Berdiri menghadap kamera dua detik. Lalu kata pengukur: Beres.

Kami bergerak menuju Taman Borobudur di area Etnologi di lantai bawah Museum Vatikan. Ketika ada jeda sedikit, saya bertanya karena ingin tahu. Pak, bagaimana kesan pertemuan dengan Paus tadi? Spontan beliau menjawab: ‘Bagus dan berkesan sekali. Pikiran-pikiran Paus sangat jelas dan menarik.’ Saya tidak ingin bertanya lebih lanjut. Apalagi jalan berkelok-kelok dan bertangga banyak. Jawaban itu saja sudah sangat menarik.
Di gerbang area Etnologi kami diterima oleh Padre Mapelli yang bertanggung-jawab atas departemen Etnologi. Beliau pernah dua kali ke Indonesia untuk mengurus Taman Borobudur ini. Pak JK merasa senang melihat Stupa Borobudur dan Patung Buddha berukuran besar berdiri di ruang khusus beratap kaca.
Di replika Borobudur yang dihadiahkan ke Vatikan sekitar 10 tahun lalu kami berdiri sejenak. Pak JK berkomentar: Menarik. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, referensi budaya dan turisme adalah Borobudur, milik agama Buddha. Di India yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu, referensi budaya dan turismenya yaitu Masjid Raya Taj Mahal. Kami senyum dan mengangguk sepakat. Terus saya menyambung: ‘Luar biasa Pak. Itu artinya orang tidak lupa akan sejarah. Simbol toleransi agama.’