Suara Kelompok Minoritas bagi Masa Depan Negara Palestina Merdeka
Mengakomodasi Suara Kelompok Minoritas
Palestina adalah wilayah bersejarah dan “Tanah Suci” bagi tiga agama Abrahamic (Yahudi-Kristen-Islam), sehingga penduduknya heterogen dari segi agama dan etnis. Mayoritas atau 93 persen penduduk Palestina memeluk agama Islam Sunni, disusul oleh penduduk Kristen sebesar 6 persen, dan agama-agama minoritas lain seperti Yahudi, Druze, Samaria, dll sebesar 1 persen dari total populasi.
Sebagai contoh keberagaman, umat Kristiani di Palestina saja terdiri atas Patriarkat Ortodoks Yunani Yerusalem (mayoritas), Patriarkat Latin Yerusalem (bagian dari Gereja Katolik Roma), Patriarkat Armenia Yerusalem, Gereja-gereja Oriental (Eastern Catholic, termasuk Gereja Maronit), Gereja-gereja Ortodoks, dan Gereja-gereja Protestan. Sementara itu, kelompok agama Druze eksis di daerah Nablus (Sichem kuno) dan kelompok agama Samaria (sekte Yahudi yang terpisah dari komunitas Yahudi-Rabbinik) berpusat di Gunung Gerizim, Tepi Barat (Ferrara, 2023).
Sedangkan dari segi etnis, penduduk Palestina terdiri dari orang Arab sebesar 86 persen, orang Yahudi sebesar 13 persen, dan lain-lain sebesar 1 persen (CIA, 2019).
Umat Kristiani mengalami situasi kebebasan beragama yang sulit di Jalur Gaza, terutama pasca Hamas mengambilalih kekuasaan di wilayah tersebut sejak memenangkan Pemilu Palestina pada 2006. Mereka dihadapkan pada ancaman serangan dari kelompok ekstrimis Islam maupun Yahudi di satu sisi dan serangan dari militer Israel di sisi lainnya.
Meski demikian, semua Gereja Kristen berada di garis depan untuk membantu sebagian besar penduduk Muslim dalam kesulitan sehari-hari yang disebabkan oleh blokade Israel, yang mengakibatkan meluasnya kemiskinan dan kekurangan gizi pada anak-anak, serta kerusakan akibat bom dan tidak efektifnya layanan kesehatan (Ferrara, 2023).
Hal ini menunjukkan perasaan senasib dan sepenanggungan yang melebihi doktrin agama mengenai ajaran cinta-kasih umat Kristiani terhadap saudara/i Muslimnya di Palestina dalam menghadapi kesulitan bersama.
Praktik tersebut menunjukkan terpenuhinya prinsip dasar untuk membentuk suatu entitas bangsa dalam konsep “Negara-Bangsa” modern. Sebagaimana merujuk pada definisi “Bangsa” menurut Otto Bauer bahwa “Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman” (Latif, 2018).
Sejalan dengan pernyataan Otto Bauer, Mohammad Hatta menyatakan bahwa “Bangsa adalah suatu persatuan yang ditentukan oleh keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu yaitu terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan”. (Listyarti, 2006). Berkaitan dengan pernyataan tersebut, maka seluruh elemen masyarakat di wilayah Palestina baik individu maupun kelompok sama-sama merasakan persamaan nasib atas dampak ancaman kekerasan, aneksasi teritori, dan perampasan tanah oleh Israel.
Meskipun perasaan tersebut tidak sama rata karena faktanya Umat Kristiani juga mengalami diskriminasi oleh sesama penduduk Palestina di Gaza. Suatu kondisi yang berbeda dengan kehidupan umat Kristiani di Tepi Barat yang jauh lebih mudah dibandingkan di Gaza.
Di sana mereka bisa memiliki tempat ibadah sendiri, yang seringkali terlihat jelas dan menjadi bagian dari lansekap Palestina, serta bebas merayakan hari raya keagamaan Kristen (Ferrara, 2023). Jika demikian, maka persamaan tujuan untuk mencapai negara Palestina yang merdeka sepenuhnya harus menjadi faktor pengikat yang mengesampingkan segala bentuk perbedaan dan menghapus diskriminasi antar sesama warga bangsa.
Upaya ini penting untuk menunjukkan persatuan “Bangsa Palestina” yang plural, serta membuktikan kepada dunia internasional bahwa negara Palestina masih ada dan mampu melakukan perlawanan terhadap segala upaya pendudukan oleh pihak Israel.