Suara Kelompok Minoritas bagi Masa Depan Negara Palestina Merdeka
Lebih jauh lagi, mengakomodasi suara (aspirasi) dari kelompok minoritas bagi masa depan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat merupakan suatu keharusan karena beberapa faktor strategis. Pertama, kelompok minoritas di Palestina memang kecil dari segi kuantitas, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kualitas SDM mereka bisa setara dengan kelompok yang lebih mayoritas. SDM yang berkualitas dibutuhkan dalam rangka mengisi kemerdekaan dan pembangunan nasional.
Kedua, kelompok minoritas di Palestina memiliki hak yang setara sebagai penduduk (warga negara) atas dasar fakta sejarah eksistensi mereka di wilayah tersebut. Misalnya umat Yahudi dan Kristiani yang sudah menetap di Palestina jauh sebelum agama Islam lahir di Jazirah Arab pada abad Ke-7 Masehi (Qurtuby, 2023).
Ketiga, kelompok minoritas di Palestina terbukti turut berkontribusi dalam upaya perjuangan kemerdekaan melalui kampanye perdamaian maupun aksi kemanusiaan. Misalnya Kelompok Haredi (Yahudi) yang anti-perang, pro-perdamaian, dan pendukung toleransi antaragama (Qurtuby, 2023).
Keempat, kelompok minoritas di Palestina juga memiliki aspirasi terkait bentuk negara pasca-merdeka sepenuhnya (bersatu dan berdaulat), yakni negara yang mampu mengayomi dan melibatkan komunitasnya secara inklusif berdasarkan penghormatan kepada nilai-nilai HAM dan demokrasi.
Last but not least, para elite pimpinan bangsa Palestina di tingkat nasional yang saat ini masih didominasi oleh orang Arab-Muslim harus mendengarkan “Suara” dari kelompok minoritas, agar negara Palestina yang merdeka sepenuhnya nanti tidak terjerumus ke dalam instabilitas politik-keamanan akibat diskriminasi rasial atau perbedaan agama yang memicu konflik dalam negeri hingga perang saudara.
Kelompok minoritas di Palestina juga memiliki jaringan transnasional yang dapat membantu upaya perdamaian dan kemerdekaan penuh, melalui aktivisme lintas batas negara (Activist Beyond Borders) yang konsepsikan oleh Keck and Sikkink (1998) menjadi gerakan “Transnational Advocacy Networks (TANs)”, dengan memaksimalkan strategi “The Boomerang Effect”.
Misalnya saja kelompok penganut Kristen/Katolik yang memiliki pusat/jaringan gereja di Amerika Serikat bisa mendorong umat dan pemerintah di sana untuk lebih peduli terhadap nasib bangsa Palestina. Di samping itu, minoritas di suatu tempat bisa jadi mayoritas di tempat lainnya tergantung pada aspek dinamika populasi dan demografi, bahkan di dalam wilayah Palestina sendiri.
Editor: Anton Suhartono