Bicara di Webinar Partai Perindo, Sekjen PDIP: Negara Tidak Boleh Kalah dengan Gempuran Radikalisme dan Terorisme
JAKARTA, iNews.id – Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyebut perubahan sistem politik di Indonesia yang sebelumnya otoriter menjadi demokrasi, menjadi pemicu dari munculnya intoleransi di tanah air. Hal ini disampaikan Hasto dalam webinar Partai Perindo yang bertajuk Tantangan, Radikalisme dan Konsolidasi Demokrasi.
“Kita tidak menutup mata bahwa proses reformasi yang terjadi melalui perubahan sistem politik Indonesia pada 1999, yang kemudian diperkenalkan sistem one man one vote one values, pada praktiknya mendorong berbagai ekspresi primordialisme kedaerahan termasuk dukungan politik atas dasar agama, suku memang terjadi,” kata Hasto secara virtual, Selasa (23/11/2021).
“Dan itu memang dilakukan sistem simbolik atas dasar kedekatan suku dan agama demi kepentingan elektoral,” katanya lagi.
Hasto melihat, dalam praktik demokrasi one man one vote one value (OPOVOV) sebagai demokrasi ala Barat ternyata mendorong dampak-dampak negatif berupa kapitalisasi kekuatan politik dengan konvergensi politik hukum kapital media, isu-isu primordialisme, bahkan terjadi konflik antara ideologi Pancasila dengan isu-isu transnasional.
“Dampak-dampak yang seharusnya bisa kita cegah untuk merancang kembali sistem politik kita dalam alam yang sangat liberal dengan alasan demokrasi berbagai bentuk intolernasi, radikalisme sepertinya diizinkan untuk tumbuh,” katanya.
Maka dari itu, kata Hasto, PDIP mengusulkan berbagai langkah-langkah konsolidasi. Pertama, konsolidasi secara ideologi penting dalam membangun demokrasi Pancasila, menempatkan Pancasila sebagai basis seluruh kebijakan politik bangsa; kedua, aspek-aspek sistem hukum, ekonomi dan kebudayaan, yang juga didasarkan pada falsafah bangsa.
“Kalau kita lihat demokrasi kita itu dalam praktik itu sudah mencerminkan lebih liberal dari demokrasi yang bahkan terjadi di Amerika Serikat sekalipun,” kata Hasto.
Ketiga, dia melanjutkan, spiritualitas Pancasila juga untuk dipahami bagaimana prinsip-prinsip ketuhanan yang bekerja dalam sila-sila Pancasila; keempat, bagaimana gotong royong diilhami sebagai spriritualitas bangsa dalam menjalin hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi pada saat bersamaan punya tanggung jawab horizontal dengan sesama masyarakat; kelima, keenam dan ketujuh yakni sistem ekonomi, sistem hukum dan gerak kebudayaan.
“Dari ketujuh aspek harus menjadi benteng dari pendekatan hulu ke hilir,” tuturnya.
Hasto memaparkan, konsolidasi demokrasi penting dalam rangka mencegah berbagai bentuk intoleransi dan radikalisme serta terorisme. Konsolidasi hukum juga penting dengan budaya tertib hukum dalam penataan sistem politik nasional, adanya arah pembangunan yang jelas melalui pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Praktik penyelenggaraan pemerintahan negara dengan menetapkan hukum nasional yang benar-benar ditegakkan atas dasar keadilan dan kemanusiaan.
“Karena dalam praktik demokrasi liberal, hukum pun sering dijadikan alat politik. sistem kepartaian dalam praktik berdemokrasi,” katanya.
Begitu juga dengan sistem presidensial, menurutnya, dibutuhkan sistem multipartai sederhana, itu harus dilakukan setelah Indonesia melalui 5 tahapan proses demokrasi pemilu pasca reformasi. Jadi, sudah saatnya Indonesia memikirkan desain ulang tentang sistem multipartai sederhana tersebut. Sistem pemerintahan juga ditetapkan sebagai sistem presidensial yang harus diperkuat.
“Yang lebih kami kedepankan bagaimana konsolidasi dari aspek ideologi dan hukum, bukan berarti ekonomi dan kebudayan tidak penting, itu sebagai benteng kultural yang dikedepankan,” tuturnya.
Editor: Muhammad Fida Ul Haq