Gubernur Anies: Saya Tidak Jual 1 Meter pun Kedaulatan Republik Ini
JAKARTA, iNews.id, - Kontroversi terbitnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di pulau reklamasi disangkutpautkan dengan rencana kontribusi 15 persen bagi pengembang yang pernah digagas Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Ahok saat itu terang-terangan setuju reklamasi tapi berdali memberikan sumbangan signifikan untuk kas daerah.
Keputusan Anies menerbitkan IMB sekarang ini dianggap langkah mundur oleh sebagian kalangan. Apalagi dia terkesan sembunyi-sembunyi. Benarkah demikian? Berapa sesungguhnya kontribusi pada Pemprov DKI atas terbitnya IMB itu? Kepada iNews dan iNews.id, Anies menerangkan rinci, Jumat (28/6/2019). Berikut penuturannya:
Muncul di media Pak Anies seakan menghindar dengan lebih banyak memberi pernyataan tertulis soal terbitnya IMB di pulau reklamasi. Apa benar demikian?
Betul. Mengapa? Karena bila tidak dijelaskan secara lengkap, kalau yang menulis ini tidak memahami secara detail maka akan muncul informasi yang keliru kepada publik dan saya tidak sedang terburu-buru menjelaskan juga.
Kemarin itu kami sedang konsentrasi perayaan ulang tahun Kota Jakarta. Jadi saya sampaikan kepada semuanya, saya buat tertulis jadi kalau mengutip jelas, “unplintirable”. Tidak bisa diplintir-plintir, jadi kalau mau iseng tidak bisa. Ya, itulah pernyataan saya berikan sesuai dosisnya, sesuai dengan informasinya. Saya kumpulkan pertanyaan-pertanyaan lewat media sosial, kami jawab dalam bentuk tertulis. Sesudah perayaan ulang tahun Jakarta selesai, baru saya jelaskan nih satu-satu.
Secara keseluruhan ada 17 pulau reklamasi, 4 sudah jadi, 13 pulau dihentikan. Kemudian ada lebih dari 1.000 bangunan IMB-nya sudah turun dan itu hanya di satu pulau. Bagaimana dengan 3 pulau yang terlanjur jadi, dan ada yang sudah jadi tapi di bawah permukaan laut?
ini bukan selera gubernur mau diapain. Gubernur berkerja sesuai dengan undang-undang. Kami berseragam begini, artinya kita ini penyelenggara negara dan negara ketika bekerja ikut apa undang-undang, apa peraturan pemerintah, apa perda. Jadi penataan daratan hasil reklamasi saya akan mengikuti semua peraturan yang ada. Dan kita di sisi lain ada perjanjian kerja sama yang harus kita perhatikan juga, karena peraturan kerja sama itu sifatnya mengikat.
Itu semua pulau yang ada perjanjian kerja samanya?
Yang sudah ada Pulau Kita dan Maju.
Berarti C dan D?
Betul, dan ini istilahnya pantai jangan pulau. Kita (kerap) menggunakan (istilah) tukar-menukar. Bahwa disebut pulau bila dia dibentuk secara alamiah. Bila dibentuk oleh manusia itu yang disebut perpanjangan dari kawasan yang sudah ada. Bahkan perdanya di sini perda reklamasi Pantura, Pantai Utara Jakarta, jadi memang pantai.
Pembangunan unit-unit ruko di Pulau D, kawasan reklamasi pantau utara Jakarta. (Foto: Okezone/dok).
Sebenarnya bukan pertama kali ini Jakarta mengalami reklamasi. Ancol itu hasil reklamasi, kawasan Mutiara itu juga reklamasi, Indah Kapuk juga reklamasi. Semua namanya pantai. Pantai Ancol, Pantai Mutiara, Pantai Indah Kapuk, ini pun pantai.
Pantai D ini sudah turun IMB untuk 1.000 lebih bangunan atau 5 persen wilayah tersebut, bagaimana dengan Pantai C?
Pantai C ini baru direklamasi kira-kira sepertiga, belum selesai dan tidak diteruskan karena saya tepati janji itu. Saya hentikan dan berhenti. Jadi jangan pernah bilang (saya) mengingkari janji, kita menepati janji. Jadi itu berhenti di situ. Pantai C masih kosong.
Saya menugaskan kepada PT Jakpro (Jakarta Propertindo), yang merupakan salah satu BUMD kita untuk mengelola kawasan hasil reklamasi. Kenapa kita memilih perusahaan? Supaya mereka bisa mengatur dengan pihak swasta dengan pola hubungan yang B to B (business to business) itu akan jauh lebih leluasa.
Jadi kami menugaskan Jakpro (untuk membangun) jalur sepeda, jalur jogging, lapangan, dan yang paling penting itu semua kawasan yang semula tertutup, ekslusif, dengan security, sekarang menjadi terbuka, bisa diakses siapa saja, kapan saja.
Dan ini pernyataan paling gamblang karena tanah itu kedaulatan kita, tapi kalau tempat itu tertutup kita tidak merasa seperti di Indonesia karena kawasannya bukan kawasan yang kita kelola.
saya menugaskan PT Jakpro untuk nanti mengelola seluruh kawasan itu.
Soal pantai lain yang mungkin tadi dibilang baru sepertiga selesai, tidak takut abrasi?
Kalau yang untuk Pantai C tidak karena mereka (pengembang) praktis sudah menyiapkan penahannya. Yang menjadi tantangan sekarang pulau yang ketiga atau pantai bersama. Pantai Bersama itu yang disebut Pulau G, itu belum sepenuhnya jadi dan ada potensi abrasi di situ, itu dikaji oleh teman-teman.
Seperti buah simalakama?
Betul, karena posisinya ada permukaan laut kemudian sudah terjadi pembangunan reklamasi, tapi yang muncul baru sebagian di bawah (permukaan laut) yang sudah jadi. Sekarang mengalami abrasi di situ. Ini akan dilakukan konsolidasi di situ. Ini juga nanti ketika dilakukan konsolidasi hampir pasti ramai juga. Kenapa sesuatu yang sebenarnya sangat teknis tapi karena dibicarakan frame politis, maka dia menjadi ramai.
Kembali ke Pantai D yang kemarin juga ramai soal retribusi 15 persen sebelum Bapak menjabat masih digodok DPRD DKI Jakarta, kemudian menggantung. Jadi apakah sekarang 5 persen akan ada kontribusi untuk Jakarta atau bagaimana ke depannya?
Ya jadi pembahasan perdanya berhenti. Di dalam perdanya itu mengatur rencana tata ruang, di dalam rencana tata ruang itu lalu ada pembicaraan mengenai kontribusi sebesar 15 persen, dan pembahasannya berhenti.
Alasan berhenti karena mentok di angka 5 persen demikian?
Tidak, tidak. Kan ada yang ketangkap korupsi, kemudian OTT KPK, kemudian berhenti tuh sehingga tidak tuntas. Pembahasan perda berhenti, lalu digantikan dengan Pergub 206.
Kalau begitu perda tersebut tidak mengatur kontribusi 15 persen itu?
Nah itulah pertanyaan saya, kalau memang serius mengusahakan 15 persen diatur juga dong di situ (Pergub 206). Masa yang dikasih pengembang panduan rancang kota-nya. Kan yang mau diatur oleh perdanya itu rancangan tata kota lalu diatur juga di situ soal kontribusi tambahan. Ketika rancangan perda ini berhenti, gubernur mengeluarkan pergub sebagai subtitut (pergantian) karena perdanya gak selesia. kenapa gak diatur juga kontribusi15 persen di pergub. kenapa nanyanya sekarang?
Kepada pengembang dikasih pergub yang membuat mereka bisa membangun, kenapa soal 15 persen tak diikutkan sekalian? Kenapa gak dibuatkan pergub khusus soal itu? Kenapa gagal merealisasikan kemauan 15 persen bahkan pertanyaan lebih jauh lagi, kenapa cuma 15 persen? kenapa tidak 10, 12, kenapa tidak 17, kenapa tidak 22?.
Bangunan di Pulau D kawasan reklamasi pantai utara Jakarta. (Foto: Antara).
Kami ini pemerintah bukan pedagang yang menegosiasikan persentase. Saya ini gubernur, bukan pedagang yang mau tarik- ulur atau untung-rugi, tidak. Ketika saya memutuskan angka 5, 6, 7, itu harus memiliki dasarnya.
Itu pertanyaan semua, jadi menurut saya publik berhak tahu kenapa dulu justru pengembang diberikan solusi, diberi pergub sementara yang disebut-sebut sebagai keinginan 15 persen kok tidak diatur sekalian malah ditanyakannya kepada saya yang tidak berurusan dengan itu semua.
Betulkan? lagi lagi karena didorong banyaknya perspektif politis maka kita kehilangan hal-hal yang substansial sebetulnya di sini. jadi karena itu, saya melihatnya buat saya paling penting kedaulatan tidak dikompromikan.
Kalau kawasan itu menjadi kawasan tertutup, dikelola ekslusif, bahkan jika mereka mau bayar 100 persen kontribusi pun, saya tidak terima. Saya tidak menjual 1 meter pun kedaulatan di republik ini kepada siapa pun.
Mau bayar 100 persen pun saya tidak terima, jangankan cuma 15 persen. Justru yang sekarang kita lakukan adalah kita ambil alih kedaulatan itu. Tempat itu tidak jadi tempat ekslusif, tempat itu tidak jadi tertutup. Dan karena itu tempat terbuka maka milik kita, tidak perlu lagi utk membayar, kayak misalnya ekslusif, enggak bisa. Jadi ini policy kita, ini wilyah kita, bukan wilayah mereka. Ini wilayah Indonesia, bukan wilayah ekslusif tertutup.
Jadi tidak adanya kontribusi 15 persen itu karena memang lahan itu tidak seperti di awal? Sekarang lahan itu jadi lahan terbuka yang bisa dimasukin semua orang tanpa penjagaan ketat?
Iya, seperti itu, dibuka. Tapi juga soal 15 persen itu imajinasi juga, harus dijelaskan sebenarnya apa? Kan semua orang ngomong 15 persen. Sekarang saya ingin tahu kenapa enggak 17? Kok enggak 22? Kan lebih tinggi. Kok enggak 50 persen? Dasar itu tidak jelas apa. Yang kedua kenapa gagal diwujudkan? Wong raperdanya mandek. Dikasih solusi pergub, sehingga pengembang bisa bekerja. Lah terus mana minta niat dari pengembang? Kok enggak dapet?