Kolaborasi Pembangunan Drainase Vertikal dalam Pengendalian Banjir Jakarta
JAKARTA, iNews.id - Sejak dulu, Jakarta dikenal sebagai kawasan banjir. Sejumlah literasi sejarah mengungkapkan kepungan banjir besar Jakarta telah terjadi sejak tahun 1600-an, tepatnya saat Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal Persekutuan Dagang Belanda (VOC).
Pada zaman itu, kanal penanggulangan banjir berupa sodetan Kali Ciliwung dibangun dan berlanjut dengan pembuatan Kanal Banjir Barat saat pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Johan Paul van Limburg Stirum berkuasa tahun 1918. Banjir yang melanda Jakarta dipengaruhi perubahan tata ruang di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, yang menjadi hulu dari aliran air yang melintas ibu kota menuju laut.
Awalnya, kawasan Puncak merupakan kawasan hutan. Tapi, Pemerintah Belanda ingin mengusahakan kawasan itu sebagai kawasan perkebunan teh.

Akhirnya, tanaman hutan yang ada diubah menjadi perkebunan teh. Awalnya, air yang meresap ke tanah di kawasan Puncak sebanyak 73–97 persen, sedangkan yang terbuang sebanyak 3–27 persen.
Begitu kawasan itu diubah, air yang meresap ke dalam tanah semakin sedikit. Sedangkan, air yang mengalir atau terbuang semakin besar.
Dengan pesatnya perkembangan kota dan muncul bangunan-bangunan baru, air yang meresap ke tanah sebanyak 50–70 persen, sedangkan yang terbuang mencapai 30–50 persen. Di Puncak, juga mulai bermunculan villa dan area rekreasi, kemudian di Depok dan sekitarnya muncul bangunan sedang serta kawasan permukiman.