8 Contoh Teks Anekdot Menyindir Teman, Lucu dan Undang Gelak Tawa
Kisah ini terjadi sekitar 12 tahun yang lalu, ketika itu saya masih terdaftar sebagai salah satu mahasiswa di salah satu universitas di kota S.
Ketika sedang leyeh-leyeh santai di depan kontrakan bersama beberapa kawan. Datanglah Saiful dengan membawa seperangkat PS 2.
Ia mengatakan kalau hari ini dia menang taruhan bola, dan uang hasil menang taruhan itu dia gunakan untuk menyewa seperangkat PS 2 selama dia hari.
Setelah sukses menyewa PS 2, Saiful kemudian menantang saya dan kawan-kawan kontrakan main PS 2.
Saiful berujar bahwa siapapun yang dapat menang melawannya dalam bermain PS 2 akan dituruti semua permintaannya.
Usulan Saiful pun kami turuti. Dalam beberapa pertandingan, akhirnya kami dapat mengalahkan Saiful.
Dan sebagai konsekuensi atas kekalahannya, Saiful harus mau diajak makan pecel lele. Saat tahu bahwa konsekuensi atas kekalahannya adalah makan lele.
Saiful mati-matian menolaknya. Saiful menolak ajakan itu bukan karena dia tidak suka makan lele.
Melainkan karena di tempat Saiful ada sebuah pantangan untuk tidak makan lele. Entah apa alasannya saya sendiri sampai sekarang tidak tahu.
“Pokoknya jangan makan lele. Saya takut kualat,” kata Saiful memelas.
“Baik, kami tidak akan mengajakmu makan lele dengan catatan kamu tidak merasa sok jagoan lagi dalam urusan main game. Ingat, di atas kamu masih ada kami.”
“Baik, saya janji. Saya kapok.”
Saiful nampak lega karena dia tidak harus makan lele yang menjadi pantangan di daerah asalnya yakni Lamongan, Jawa Timur.
Hari itu kuliah masuk siang. Sekitar pukul 9 pagi Saiful mengajak saya sarapan soto ayam lamongan di warung langganan.
Selain menyambut baik rezeki yang tak terduga. Saya juga berusaha waspada karena tidak biasanya Saiful bertindak seperti ini. Saya menduga bahwa ajakan sarapan ini pasti akan ada imbal-baliknya.
Rupanya tebakan saya benar. Ketika sedang menunggu pesanan jadi. Saiful mengatakan kalau dirinya sedang butuh bantuan saya.
Ia meminta tolong untuk dibantu mengerjakan tugas kuliahnya yang belum selesai. Ia takut kalau hari ini tugasnya tidak selesai. Ia akan dimarahi dosen.
Kebetulan saat itu kami sedang mendapat banyak tugas. Sehingga saya tidak tahu tugas mana yang dimaksud Saiful.
“Memangnya tugas mana yang ingin saya bantu?” tanya saya.
“Tugas, tradisi Jawa,” jawab Saiful.
“Gini, Ful. Kalau tugas itu kamu minta bantuanku. Artinya kamu salah orang.”
“Hlo, kok bisa. Bukannya kamu pandai dalam hal tradisi Jawa.”
“Ah, kata siapa?”
“Buktinya tradisi Jawa 1 di semester kemarin kamu dapat A. Bagiku itu sudah cukup menjadi bukti bahwa kamu pandai.”
“Sebentar… sebentar,, kalau dalam soal ini beda, Ful. Sepandai-pandainya saya, tetap saya tidak bisa membantumu, Ful.”
“Masalahnya begini, saya ini orang Tulungagung dan sampai saat ini saya belum pernah datang ke Lamongan apalagi ke desamu. Sementara tugas tradisi Jawa kali ini itu membuat laporan tentang tradisi yang ada di desanya masing-masing. Kan aneh kalau saya bisa membantumu?”
Saiful nampak berpikir keras.
“Seharusnya yang lebih tahu daerahmu itu ya kamu sendiri. Masa selama puluhan tahun hidup di desa kamu nggak pernah ikut acara tradisi sama sekali. Memangnya kamu itu bagian dari masyarakat atau bukan sih?”
Saiful terlihat kecewa.
“Lalu, aku mengajakmu sarapan pagi ini nggak ada gunanya dong?”
“Ya, ada ta? Saya ini kan seorang musafir. Memberi makanan kepada seorang musafir itu kan termasuk ibadah. Jadi hari ini kamu sudah dapat pahala dengan memberiku sarapan.”
“Tapi…tapi…”
“Nggak usah tapi-tapian. Mari makan mumpung sotonya sudah datang.”
Saiful terlihat kecewa karena saya tidak bisa membantunya.