Ahli Hukum Pidana: Jaksa dan Hakim Keliru dalam Menghukum Irman Gusman
YOGYAKARTA, iNews.id – Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman tidak semestinya dihukum karena ‘hakim memutus dalam keragu-raguan’ dan terdapat ‘kekeliruan nyata’ dari putusan tersebut. Vonis atas perkara ini juga mencerminkan ketidakadilan.
Kesimpulan itu diungkap Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Eddy Hieriej dalam acara bedah buku “Menyibak Kebenaran, Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman” yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa (22/1/2019).
Eddy dalam pemaparannya meyimpulkan, fakta bahwa jaksa mengajukan dakwaan alternatif sudah membuktikan bahwa jaksa sebetulnya tak yakin pasal mana yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelanggaran hukum. Karena itu dia mengangkat Pasal 12 huruf b dan Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi agar hakim menentukan sikapnya.
Faktanya, dakwaan primer didasari pada Pasal 12 huruf b UU Tipikor. Dengan demikian di mata Eddy telah terjadi “kekeliruan yang nyata” dari penegak hukum dalam menangani kasus ini.
Celakanya, hakim hanya mengikuti alur pikiran jaksa dan tidak menggali kebenaran dalam kasus ini termasuk fakta-fakta persidangan sehingga hasilnya pidana 4 tahun 6 bulan ditambah lagi dengan hukuman pencabutan hak politik Irman selama 3 tahun sejak berakhirnya pidana pokok.
”Fakta persidangan bersifat netral. Optik apa yang dipakai untuk melihat fakta-fakta tersebut itulah yang menentukan interpretasi terhadap fakta dimaksud. Sebab hukum sebetulnya adalah the art of interpretation,” ujar Eddy dalam acara yang dipadati ratusan undangan dari berbagai kalangan tersebut.

Eddy kemudian mengutip pendapat mendiang Prof Satjipto Rahardjo bahwa ketika orang berperkara di pengadilan, hukum tidak bisa menjamin pihak yang kalah dan dihukum itu pasti salah dan pihak yang menang di pengadilan itu pasti benar.
Amar putusan pengadilan menyebut Irman telah memperdagangkan pengaruhnya kepada kepala Bulog ketika itu untuk mendapatkan jatah gula yang disalurkan ke Sumatera Barat melalui kenalannya bernama Memi dan Xaveriandy Sutanto.
Eddy Hieriej menyanggah putusan ini dengan mengatakan bahwa trading in influence yang diatur dalam Pasal 18 UNCAC itu bukan termasuk mandatory offenses melainkan non-mandatory offenses. Artinya, Indonesia tak wajib tunduk kepada aturan ini meskipun UNCAC sudah diratifikasi dengan UU Nomor 7/2006.
Apalagi, undang-undang tersebut tidak mencantumkan pasal-pasal sanksi pidana yang dapat digunakan untuk menghukum pedagang pengaruh. Karena itu, tak ada dasar hukum pidana untuk menghukum Irman Gusman atas tuduhan telah memperdagangkan pengaruhnya.
Eddy Hieriej menegaskan, semestinya pasal yang didakwakan yakni Pasal 11 UU Tipikor tentang gratifikasi. Meski demikian Irman mestinya diberikan waktu 30 hari untuk melaporkan gratifikasi tersebut. Itu pun sudah dilakukan oleh penasihat hukum Irman tetapi laporan gratifikasi itu diabaikan.
Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro Prof Esmi Warassih menambahkan, aparat penegak hukum yang salah dalam menerapkan azas, norma, dan aturan hukum merupakan gambaran dari pendidikan hukum di perguruan tinggi yang perlu diluruskan.
Esmi menjelaskan bahwa semua stakeholder, termasuk para jaksa dan hakim perlu menyadari bahwa hukum itu tidak berada di ruang hampa melainkan berada di masyarakat. Karena itu, dalam menjalankan hukum, penegak hukum harus bisa melihat ke segala arah, melihat ke norma-norma dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.
”Hukum tak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang yang bersifat tekstual-yuridis belaka, tetapi harus dilihat secara holistik, mencakup semua nilai dan norma dalam masyarakat yang dinamis dan terus berkembang,” kata Esmi.
Sementara itu pakar hukum pidana formil UII Arief Setyawan dalam pemaparannya kembali menyingkap kekeliruan dalam penanganan kasus ini mulai dari proses penangkapan hingga pra-peradilan yang digugurkan di tengah jalan hingga menggunaan pasal-pasal yang tidak tepat dalam menghukum Irman Gusman.
Pakar hukum pidana materiil UII Mudzakir pun memberikan pendapat hukumnya tentang cara penanganan kasus ini yang tidak sesuai dengan azas dan prinsip hukum pidana yang semestinya.
Dia menekankan perlunya penegak hukum memahami betul azas hukum pidana agar dalam menjatuhkan putusan tidak melakukan kesalahan seperti yang terjadi dalam putusan terhadap Irman Gusman.
Bedah buku itu pun menarik benang merah bahwa para pakar hukum pidana dan sosiologi hukum sependapat bahwa Irman Gusman semestinya tidak dihukum karena pasal dakwaannya tidak tepat sehingga hukumannya pun keliru.
Editor: Zen Teguh