Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Komisi I DPR Desak Pemerintah Tegas Atasi Gelombang PHK di Industri Media
Advertisement . Scroll to see content

Badai PHK Jurnalis dan Ancaman Disinformasi

Rabu, 04 Juni 2025 - 21:41:00 WIB
Badai PHK Jurnalis dan Ancaman Disinformasi
Ilustrasi gelombang PHK di industri media (iNews/Maspuq)
Advertisement . Scroll to see content

Dedi Prasetia 
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UI

PEMUTUSAN hubungan kerja (PHK) terus menghantam industri media di Indonesia sejak 2023. Gelombang PHK yang menerpa industri media Indonesia bukan sekadar masalah ketenagakerjaan. Di balik angka-angka jurnalis yang kehilangan pekerjaan, tersimpan ancaman serius bagi kualitas informasi dan masa depan demokrasi.

Disrupsi teknologi mengubah wajah industri media secara drastis. Perkembangan teknologi dan hadirnya kecerdasan buatan (AI) mengubah lanskap kerja di industri media. Banyak pekerjaan pekerja, termasuk jurnalis mulai digantikan oleh AI. Publik juga semakin berpindah ke platform digital untuk mendapatkan informasi, membuat perusahaan media terpaksa mengatur ulang model bisnis mereka agar tetap bertahan. Efisiensi menjadi mantra utama. 

Ribuan jurnalis dipangkas, redaksi dikurangi, dan teknologi perlahan mulai menggantikan peran manusia dalam proses produksi berita. Selain itu media kini harus memprioritaskan kecepatan dan viralitas untuk bersaing dengan ledakan informasi di media sosial yang belum tentu kebenarannya. 

Menurut data Dewan Pers (2024), lebih dari 1.200 pekerja media di Indonesia mengalami PHK dalam dua tahun terakhir. Sementara itu, menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) jurnalis yang masih bertahan menghadapi tekanan kerja tinggi namun upah yang tidak layak. 

Pengurangan jurnalis profesional bukan sekadar kehilangan pekerja, ini bisa menjadi krisis epistemik. Artinya, kemampuan masyarakat untuk membedakan fakta dari kebohongan semakin tergerus. Ketika logika viralitas menggantikan logika verifikasi, ruang publik berubah menjadi medan tempur disinformasi.

Digital News Report 2024 dari Reuters Institute mencatat skor kepercayaan publik terhadap berita di Indonesia menurun menjadi 35%.
Di sisi lain, laporan We Are Social (2025) mengungkap bahwa 97,8% pengguna internet Indonesia mengakses media sosial, sementara hanya 70,5% yang mengakses berita daring. Ini memperkuat fakta bahwa ruang bagi informasi kredibel semakin sempit, dan berita bersaing dengan konten hiburan, spekulasi, hingga hoaks.

Sejumlah pakar komunikasi digital telah lama mengingatkan bahaya dominasi algoritma dalam media. Vincent Mosco, penulis The Political Economy of Communication (2009), menyebut media modern semakin dikendalikan pasar. 

Pengamat Komunikasi dari Universitas Tarumanagara, Diah Ayu Candraningrum menilai, tanpa keberadaan media yang kredibel dan jurnalisme profesional, masyarakat akan kehilangan akses terhadap informasi akurat dan asupan pemikiran kritis. Tanpa produk jurnalistik profesional, ruang publik akan dipenuhi oleh konten sensasional yang viral di media sosial. 

Dalam situasi ini, peran negara menjadi krusial. Pemerintah tidak bisa hanya menjadi penonton dalam runtuhnya ekosistem informasi. Diperlukan kebijakan yang konkret untuk menjaga keberlangsungan jurnalisme berkualitas dan juga regulasi yang menjamin perlindungan kerja bagi jurnalis profesional. Literasi digital juga harus diperluas. Masyarakat perlu dibekali kemampuan membedakan informasi valid dari hoaks.

Ketika media tunduk pada algoritma, dan jurnalis digantikan mesin, maka yang dipertaruhkan bukan hanya lapangan kerja, tetapi juga kebenaran. Dalam demokrasi yang sehat, jurnalisme yang kuat adalah fondasi. Maka menjaga eksistensi jurnalis profesional bukan pilihan, tapi keharusan.

Editor: Maria Christina

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut