Belajar dari Dua Tragedi Pelayaran

Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI/Ketua Badan Bela Negara Pengurus Pusat FKPPI
PERUBAHAN iklim telah mengeskalasi risiko bagi moda transportasi laut. Untuk meminimalisasi potensi kecelakaan, tata kelola angkutan laut harus dibenahi dengan fokus pada penegakan disiplin atau kepatuhan pada peraturan tentang keselamatan. Pembenahan pada pelabuhan-pelabuhan kecil di berbagai pelosok wilayah patut mendapatkan perhatian khusus dari Kementerian Perhubungan RI.
Sejak pertengahan Juni hingga awal Juli 2018 publik diselimuti kesedihan karena dua tragedi yang terjadi di sektor angkutan laut. Tenggelamnya Kapal Motor (KM) Sinar Bangun di Danau Toba pada 18 Juni dan tragedi KM Lestari Maju di Perairan Selayar, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 2018 menelan banyak korban jiwa.
Karena faktor kedalaman, pihak berwenang akhirnya memutuskan penghentian pencarian dan upaya mengangkat korban KM Sinar Baru. Dua tragedi ini terjadi akibat kecerobohan manusia. Faktor keselamatan tidak diutamakan karena otoritas pelabuhan tidak efektif menjalankan fungsinya.
Memang pembenahan atau perbaikan tata kelola pelabuhan-pelabuhan kecil nyaris tak tersentuh karena perhatian lebih terfokus pada pelabuhan besar atu pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan pelabuhan pengumpan. Khusus untuk pelabuhan laut yang melayani kegiatan angkutan laut dan angkutan penyeberangan terkesan minim perhatian. Begitu juga untuk pelabuhan sungai dan danau.
Pada pelabuhan-pelabuhan kecil yang bertebaran di berbagai pelosok wilayah itu, perhatian pada aspek keselamatan penumpang bisa dibilang cukup minim. Manajemen pelabuhan tidak mampu bersikap tegas untuk menegakan dan menjalankan disiplin pelayaran. Sebaliknya, bahkan banyak oknum otoritas pada pelabuhan-pelabuhan kecil itu tampak sangat kompromistis.
Membiarkan saja sebuah kapal motor (KM) kelebihan penumpang atau muatan lainnya, tak peduli pada kondisi kapal atau aspek kelaikan, mengangkut banyak orang tanpa manifes penumpang dan tanpa baju pelampung (life jacket), keterampilan awak kapal yang apa adanya, hingga membiarkan saja sebuah kapal bertolak dari dermaga kendati cuaca sedang buruk.
Kesemrawutan tata kelola pelabuhan seperti itu sudah menjadi keseharian di banyak tempat. Kalkulasi risiko bukan menjadi faktor yang utama. Aspek yang paling dipentingkan adalah prinsip saling menguntungkan antara pemilik kapal dan oknum-oknum pada otoritas pelabuhan.
Tentang aspek keselamatan, andalan utamanya adalah naluri dan pengalaman nakhoda kapal melayari jalur laut yang setiap hari dilaluinya. Data-data tentang perkiraan cuaca dari institusi resmi seringkali diabaikan. Jadi, dalam konteks keselamatan, penumpang seperti dalam posisi atau status untung-untungan.
Pada tragedi KM Sinar Bangun di Danau Toba sempat terjadi kesimpangsiuran data mengenai jumlah penumpang. Kesimpangsiuran terjadi karena kapal tidak memiliki manifes. Polisi mencatat 194 penumpang sesuai laporan keluarga. Basarnas mencatat 184 penumpang, sedangkan PT Jasa Raharja mencatat 164 orang. Selain tanpa dokumen manifes penumpang, kapal itu juga diketahui tidak memenuhi standar keselamatan seperti ketersediaan baju pelampung.