Dapatkah Rasionalitas Berpikir Bertahan di Zaman Artificial Intelligence?
Alam semesta maupun nuansa kemanusiaan di atasnya memenuhi sistem biner, harus diubah dalam relasi dikotomis. Hitam atau putih, lemah atau kuat, lawan atau kawan, musnahkan atau kembangkan. Seluruhnya, agar dapat dikodekan sebagai 0 atau 1, dan dijadikan sebagai pilihan. Terjadi simplikasi penyederhanaan radikal, pada nuansa yang penuh kemungkinan. Mengikuti sistem biner yang mengoperasikan perangkat, pengguna perangkat digital juga dipaksa melakukan penyederhanaan kekayaan nuansa ke dalam logika biner.
Aletheia Hitz, 2024, dalam “Nuance in SocialMedia? What We Are Losing in the Binary”, mengonfirmasi fenomena itu. Ia menyebut, di media sosial interaksi sering kali terbatas pada "ya" atau "tidak", menyukai atau tidak menyukai sebuah komentar, mendukung atau mengabaikan sebuah unggahan. Mengutip penyataan Josh Burns, Hitz menegaskan, di media sosial, masukan bersifat biner. Sepenuhnya menyukai sesuatu atau tidak, sepenuhnya membagikan sesuatu atau tidak. Masalahnya, sering kali tidak dapat memutlakkan sikap pada suatu hal namun tak ditemukan pernyataannya. Padahal, elemen penting pernyataan itu, jika tidak ditemukan, dapat merusak hubungan, menyebabkan ambigunya wacana, dan mendorong generalisasi yang terburu-buru.
Itulah yang terjadi pada dua peristiwa di lingkungan pendidikan di atas, penyederhanaan radikal pada peristiwa yang penuh kemungkinan. Pada kasus penamparan siswa di Cimarga, warga digital dihadapkan pada pilihan ekstem “menolak” tindakan kekerasan pendidik pada siswa, apa pun alasannya. Yang berhadapan dengan “menerima” tindakan pendisiplinan siswa, yang melakukan tindakan tak patut, termasuk jika harus dengan tindakan kekerasan. Pilihannya hanya itu dan harus cepat disikapi. Tampak di media sosial, hanya punya dua kemungkinan. Bahwa ada guru yang bercerita sang kepala sekolah memang mudah marah bukan hanya kepada siswanya, namun juga pada guru-guru yang dipimpinnya. Bahwa mungkin, para siswa telah berkali-kali diperingatkan untuk menjaga kepatutan perilaku namun tak diperhatikan. Kemungkinan-kemungkinan itu, tak turut dalam rasionalitas pertimbangan memilih sikap yang tepat. Pilihannya hanya pada kemungkinan, yang paling cepat diterima akal.
Demikian juga dengan bunuh dirinya mahasiswa. Percakapan-percakapan dikotomis tanpa bukti yang layak, dan itu pun sebatas yang beredar di media sosial, jadi bahan pembentukan sikap. Sedangkan yang beredar itu telah mengalami penyederhanaan radikal. Yang paling cepat diterima akal, bunuh dirinya Timothy dipicu oleh tradisi perundungan yang telah membudaya di lingkungan kampus itu. Walaupun kemungkinan ini harus ditinjau dengan serius, namun bukti percakapan WAG itu telah dieksploitasi untuk menjadi jembatan paling sederhana menemukan penyebab bunuh diri. Kemungkinan-kemungkinan rasional penuh nuansa lainnya, diabaikan.
Maka, bagaimana keadaan minimnya rasionalitas media sosial ini di zaman artificial inteligence (AI)? Makin menggelisahkan. Berbagai konten, teks, gambar, video maupun formulasi deepfake, dengan mudah diproduksi mengandalkan algoritma. Juga distribusinya melalui platform yang tepat, mengikuti petunjuk algoritma. Jika sudah seperti ini, bukankah pembentukan sikap hanya dilandasi pikiran yang dipabrikasi teknologi digital? Rasionalitas hakiki khalayak telah mati lantaran prosesnya telah diambil alih mesin cerdas.
Editor: Maria Christina