Guru Besar IPDN: Mencari Penjabat Gubernur Tak Boleh Sembarangan
JAKARTA, iNews.id – Pengangkatan Komjen Pol Iriawan sebagai penjabat (pj) gubernur Jawa Barat oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Senin (18/6/2018) lalu, terus menuai polemik. Kritik terhadap kebijakan tersebut tidak hanya datang dari kalangan politisi, tapi juga akademisi.
Guru besar ilmu politik pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Profesor Djohermansyah Djohan, menilai penunjukan penjabat kepala daerah tidak boleh dilakukan secara serampangan. Pasalnya, banyak aspek yang mesti dipertimbangkan pemerintah pusat sebelum memutuskan seseorang untuk mengisi posisi tersebut.
“Di samping melihat kompetensi manajerial pemerintahan yang dimiliki calon penjabat, pemerintah pusat juga harus mendengar aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan. Dan yang paling penting, dia (calon penjabat itu) tidak boleh memiliki kedekatan atau afiliasi dengan kandidat yang sedang berlaga dalam pilkada. Begitulah pakemnya. Jika keluar pakem, yaa problem,” ungkap Djohermansyah kepada iNews.id, Rabu (20/6/2018).
Dia menjelaskan, kepala daerah sejatinya adalah jabatan politik. Orang yang mengisi posisi tersebut statusnya adalah pejabat negara, bukan pejabat karier aparatur sipil negara (ASN). Kendati demikian, kata Djohermansyah, jika jabatan gubernur dan wakil gubernur mengalami kekosongan, maka yang bisa ditunjuk menjadi penjabat gubernur adalah pejabat karier ASN yang sudah mencapai eselon satu atau jabatan pemimpin tinggi madya.
“Kalau jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah itu kosong, misalnya karena habis masa jabatan sedangkan pilkada belum selesai, maka sesuai asas no vacuum of power, pejabat karier ASN seperti eselon satu atau JPT madya ditugaskan oleh presiden menjadi acting governor (penjabat gubernur). Penunjukannya disahkan melalui keputusan presiden (keppres)” tutur mantan direktur jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (dirjen Otda Kemendagri) itu.