Hadapi Radikalisme, Polri Dituntut Inovatif Kembangkan SDM
JAKARTA, iNews.id - Polri dituntut untuk inovatif mengembangkan sumber daya manusia (SDM) anggotanya secara akademis dan praktik. Terutama, dalam menghadapi serta menutup ruang ideologi radikalisme dan terorisme.
Ketua DPP Perindo bidang Hankam dan Cyber Security Susaningtyas Kertopati mengatakan, saat ini kelompok teroris mengembangkan metode untuk melakukan enabling environment sebagai upaya menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi jaringan terorisme tetap eksis dan berkembang tanpa bersentuhan langsung dengan jaringan yang ada.
Khususnya, kata dia dalam menyasar kaum remaja di Institusi pendidikan dan perempuan yang didukung dengan kuatnya budaya patiarki.
"Belum lagi, banyak keahlian baru yang dimiliki oleh sel terorisme, khususnya para foreign fighter ex combatan ISIS dalam pola narko terorisme dan kemampuan menggunakan elemen nubika (nuklir, biologi dan kimia)," ujar Susaningtyas saat mengikuti FGD bertajuk, Meningkatkan Partisipasi Terorisme Dapat Ditanggulangi yang diselenggarakan oleh Mabes Polri secara daring, Selasa (31/8/2021).
Dia menuturkan, adanya perkembangan Internet of Things (IoT), prioritas selanjutnya, yaitu memperkuat keamanan siber (cyber security) karena peretasan infrastruktur kritis, pencurian data strategis, spionase dan propaganda serta radikalisasi di media sosial telah berlangsung di berbagai belahan dunia.
"Banyak negara di dunia tengah merumuskan strategi untuk menghadapi ancaman di atas yang juga mendorong terjadinya Revolutionary in Military Affairs (RMA) gelombang kedua dengan fokus ancaman Hybrid Warfare," tuturnya.
Pengamat pertahanan keamanan (hankam) dan intelijen ini juga menyinggung tentang karakteristik hybrid warfare dan perang kognitif. Karakteristik dan ciri utama dari ancaman ini dinilai kombinasi strategi perang konvensional dan non konvensional, termasuk serangan siber, tekanan ekonomi, tekanan diplomatik, penggunaan proxy /non state actor dan propaganda di media sosial yang dapat menyebabkan adanya pemberontakan sipil.
"Dalam konteks terorisme, propaganda, khususnya di media sosial menjadi medium utama yang menciptakan adanya peperangan kognitif atau peperangan persepsi, asumsi menggunakan narasi post truth yang membutuhkan penanganan yang tepat agar tidak menyebabkan disintegrasi bangsa," katanya.
Menurutnya, post-truth merupakan kondisi, fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Kondisi post truth mendapat tempat dalam proses radikalisasi, mengingat memiliki beberapa karakter.
"High Volume, diproduksi secara besar-besaran; multi channel, disampaikan melalui berbagai saluran yang tersedia; rapid, public cepat percaya karena informasi tersebut seolah baru pertama kali didapatkan, confirmation bias sesuai dengan keyakinan yang dimiliki sebelumnya; evidence, didukung oleh bukti sekalipun bukti tersebut bersifat manipulatif karena publik tidak akan pernah mengecek," ucapnya.
Pada kesempatan itu dia juga menjelaskan empat unsur yang menyebabkan seseorang menjadi radikal, yakni :
1. Adanya kebutuhan untuk menjadi seseorang yang dihargai oleh orang lain karena posisinya selama ini tidak mendapat tempat atau alienasi dari masyarakat. Ini adalah orang-orang yang kehilangan ‘moral compass’ yang dapat terjadi pada seseorang dengan berbagai macam latar belakang.
2. Adanya narasi-narasi yang membenarkan alienasi pada dirinya, khususnya yang berbasis ideologi agama/politik untuk menguatkan tindakan kekerasan kepada pihak-piak yang dianggap mengakibatkan proses alienasi tersebut.
3. Adanya jaringan sosial yang memiliki pemahaman yang sama dengan dirinya yang secara gradual menguatkan dan membenarkan narasi-narasi tersebut.
4. Adanya enabling environment atau kondisi yang memungkinkan bagi jaringan untuk narasi dan ideologi tersebut berkembang. Enabling Environment tidak harus langsung bersentuhan dengan jaringan, namun memberi sinyal bahwa jaringan ini aman dan eksis.
"Untuk itu, proses deradikalisasi harus menargetkan keempat unsur di atas," ucapnya.
Dia merekomendasikan, sejumlah langkah yang perlu dilakukan dalam menghadapi situasi tersebut:
1. Pemerintah perlu segera merancang agenda optimalisasi pencegahan radikalisme di institusi pendidikan, baik formal, non formal dan informal, dengan muatan pendidikan yang bhineka, terbuka dan toleran serta berorientasi pada penguatan ideologi Pancasila dan UUD 1945.
2. BNPT dan Kemendikbud perlu menjadi aktor utama dalam pencegahan arus intoleransi dan radikalisasi di institusi pendidikan, organisasi masyarakat, dan khususnya perempuan Indonesia. Jangan hanya berfokus penanggulangan. Dalam konsepsi pemberantasan kedua hal tersebut harus kuat.
3. Stakeholder lainnya, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, perlu meningkatkan upaya-upaya internalisasi terhadap keadilan dan kesetaraan gender kepada kaum perempuan melalui institusi kementerian/lembaga/badan, pemerintah daerah, organisasi keagamaan dan komunitas- komunitas sosial kemasyarakatan.
4. Civil Society, khususnya organisasi keagamaan moderat seperti NU, Muhammadiyah dan lainnya perlu memberbanyak narasi positif dan melakukan counter narasi radikalisme yang menyasar institusi pendidikan, anak muda serta perempuan melalui berbagai medium untuk menutup ruang narasi intoleransi dan radikalisme.
5. Pembatasan di media sosial bukanlah hal yang efektif tangkal narasi radikalisme yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan literasi di media sosial pada masyarakat Indonesia. bukan hanya sekedar baca tulis, namun mampu bernalar untuk merespon propaganda radikalisme.
Editor: Kurnia Illahi