Ini 9 Alasan Presidential Threshold di UU Pemilu Digugat Lagi ke MK
JAKARTA, iNews.id – Sebanyak 12 aktivis demokrasi melalui kuasa hukum mereka pada hari ini menyerahkan dokumen fisik dan bukti-bukti permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi atas Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Gugatan terhadap pasal tersebut menyoal konstitusionalitas presidential threshold (syarat ambang batas pencalonan presiden).
Ke-12 pemohon uji materi itu adalah M Busyro Muqoddas (mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK), M Chatib Basri (mantan menteri keuangan), Faisal Basri (ekonom), Hadar N Gumay (mantan anggota Komisi Pemilihan Umum/KPU), Bambang Widjojanto (mantan wakil ketua KPK), dan Rocky Gerung (akademikus).
Selanjutnya, ada nama Robertus Robet (sosiolog Universitas Negeri Jakarta), Feri Amsari (dosen hukum Universitas Andalas, Padang), Angga D Sasongko (sutradara), Hasan Yahya, Dahnil A Simanjuntak (PP Pemuda Muhammadiyah), dan Titi Anggraini (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi/Perludem).
Menurut para pemohon, sedikitnya ada sembilan alasan mengapa Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 dinilai inkonstitusional. Pertama, pasal tersebut mengatur “syarat” capres sehingga bertentangan dengan Pasal 6A ayat 5 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara” untuk peraturan tingkat UU.
Kedua, pengaturan pendelegasian “syarat” capres ke UU terdapat pada Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol. “Sehingga, Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 yang mengatur ‘syarat’ capres oleh parpol juga bertentangan dengan Pasal 6 ayat 2 UUD 1945,” ujar kuasa hukum para pemohon, Denny Indrayana, melalui siaran pers yang diterima iNews.id di Jakarta, Kamis (21/6/2018).
Ketiga, kata dia, pengusulan capres semestinya dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung, bukan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya. Dengan begitu, Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945.
Keempat, syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy, bukan open legal policy. Karenanya, Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Kelima, penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional, sehingga pasal tersebut bertentangan dengan pasal 6A ayat 2 UUD 1945.
Keenam, penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu, sehingga pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945. Ketujuh, presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden (pilpres) karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
“Kedelapan, kalaupun Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi MK agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 UUD 1945,” kata Denny.
Kesembilan, Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 bukanlah constitutional engineering (rekayasa konstitusional), tetapi justru adalah constitutional breaching (pelanggaran konstitusional). “Sebab, pasal 222 di UU tersebut melanggar Pasal 6 ayat 2; Pasal 6A ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5; Pasal 22E ayat 1 dan 2, serta; Pasal 28D ayat 1 UUD 1945,” tutur Denny.
Editor: Ahmad Islamy Jamil