Kisah 5 Dokter Pahlawan Kemerdekaan, Ada yang Pernah Dibuang Penjajah karena Dianggap Berbahaya
JAKARTA, iNews.id - Hari Dokter Nasional selalu diperingati pada tanggal 24 Oktober tepat hari ini Senin (24/10/2022). Hari Dokter Indonesia bersamaan dengan hari jadi Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Jauh sebelumnya pada masa penjajahan, terdapat beberapa dokter yang berperan aktif dalam meraih serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan para dokter ini pun pernah dibuang oleh pihak penjajah karena dianggap berbahaya.
Berikut lima dokter pahlawan kemerdekaan :
1. dr Moestopo
Moestop lahir di Ngadiluwih pada 13 Juni 1913. Moestopo menempuh pendidikan di STOVIT (Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi) di Surabaya pada 1937.
Setelah lulus, pada 1937-1941, ia menjadi asisten dosen ortodonsia dan konservasi gigi di STOVIT Surabaya.
Pada 1941, Moestopo menjadi Wakil Dekan STOVIT Surabaya. Setahun kemudian, ia menjadi Wakil Dekan Ika Daigagu Sikabu (Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi Surabaya pada masa penjajahan Jepang).
Ia juga sempat ditangkap Jepang yang mencurigainya sebagai mata-mata Belanda. Setelah dibebaskan, Moestopo menerima pelatihan militer Cudanco di Bogor yang tergabung dalam latihan PETA (Pembela Tanah Air).
Ia pun kemudian bertugas sebagai Cudanco di Sidoarjo. Beberapa jabatan pernah diembannya, seperti Daidanco (Komandan Batalyon) di Gresik pada 1944-1945, Kepala BKR (Badan Keamanan Rakyat) Karesidenan Surabaya pada 18 Agustus-18 November 1945.
Tak hanya itu, di bidang pendidikan, Moestopo mendirikan “war correspondence school”, mendirikan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, serta di Universita Padjajaran, Universitas Trisakti, dan Universitas Sumatera Utara (USU). Ia bahkan mendirikan Universitas Prof dr Moestopo. Moestopo meninggal dunia pada 29 September 1986.
2. dr Radjiman Wedyodiningrat
Radjiman Wedyodiningrat lahir di Desa Melati, Kampung Gelondongan, Kota Yogyakarta pada 1 April 1879. Di usia 20 tahun, ia sudah meraih gelar dokter di Belanda.
Kariernya berawal ketika ia bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit CBZ di Batavia. Selama bertugas di pedalaman, ia kerap melihat perlakuan tidak adil dari Belanda kepada orang pribumi.
Pada 1905, Radjiman memutuskan berhenti dari pegawai pemerintahan Belanda. Kemudian ia mengabadikan dirinya di Keraton Surakarta sebagai dokter keraton. Atas jasanya di Keraton Surakarta, Pakubuwono X memberinya gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Wedyodinngrat.
Pada 1910, ia berkesempatan untuk belajar ke luar negeri serta mendapat gelar Europess Art. Radjiman juga aktif di dunia politik, ia pernah menjadi anggota organisasi Budi Utomo, anggota Dewan Pertimbangan Agung, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada 20 September 1952, dr Radjiman meninggal dunia.
3. dr Soetomo
Soetomo lahir pada 30 Juli 1888 di Nganjuk. Ia lahir dengan nama kecil Soebroto dan berasal dari keluarga priyayi. Ketika menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS/Sekolah Menengah) ini, ia mengganti namanya dari Soebroto menjadi Soetomo.
Kemudian, setelah lulus dari ELS, Soetomo menempuh pendidikan di STOVIA (sekolah dokter) di Batavia. Ketika itu, ia bertemu dengan dokter Wahidin Soedirohoesodo yang juga alumni STOVIA.
Pada kesempatan tersebut, dokter Wahidin mengemukakan gagasan terkait mendirikan organisasi yang bertujuan untuk mengangkat derajat bangsa. Hingga akhirnya dibentuklah Budi Utomo pada 20 Mei 1908, yang saat ini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Pada 1911, Soetomo menyelesaikan studinya di STOVIA. Ia menjadi dokter yang berpindah-pindah tugas. Tercatat, Soetomo pernah menangani wabah pes di Malang. Pada 1924, ia mendirikan Indonesian Studiy Club (ISC). I
SC pun mengalami perkembangan. Pada 1930, ISC ganti nama menjadi PBI (Perstuan Bangsa Indonesia). Di PBI, Soetomo banyak membantu serta memperjuangkan hak rakyat. Soetomo meninggal dunia pada 30 Mei 1938.
4. dr Tjipto Mangoenkoesoemo
Tjipto Mangoenkoesoemo lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 4 Maret 1886. Ia dikenal sebagai dokter sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.
Tjipto bersekolah di STOVIA (sekolah dokter) di Batavia. Ketika di STOVIA, ia adalah murid yang berbakat. Ia dikenal sebagai orang yang berpikiran tajam, jujur hingga rajin. Ia juga aktif menuangkan pemikirannya pada harian De Locomotief.
Tjipto masuk sebagai anggota Budi Utomo. Namun terjadi perpecahan, hingga akhirnya ia mengundurkan diri dari Budi Utomo. Hal ini lantaran Budi Utomo tidak mewakili aspirasi Tjipto.
Usai mundur dari Budi Utomo, ia membuka praktik di Solo. Ia juga ikut ambil peran dalam pemberantasan wabah pes di Malang pada 1911.
Kemudian Tjipto bertemu dengan Ernest Douwes Dekker serta Soewardi Sorjaningrat. Mereka pun dikenal Tiga Serangkai. Tiga Serangkai ini mendirikan Indische Partij pada 1912.
Tjipto juga sering dibuang beberapa kali oleh pihak penjajah lantaran dianggap berbahaya. Pada 8 Maret 1943, dr Tjipto meninggal dunia karena penyakit asma.
5. dr Wahidin Soedirohoesodo
Wahidin lahir di Yogyakarta pada 7 Januari 1852. Ia merupakan keturunan priyayi. Wahidin menamatkan sekolah dasar dan sekolah menengahnya di Yogyakarta.
Usai menyelesaikan sekolah menengah (ELS), ia melanjutkannya di STOVIA (sekolah kedokteran). Setelah berhasil menjadi dokter, ia kembali ke Yogyakarta. Wahidin berkeinginan untuk meringankan beban rakyat.
Hal ini lantaran ia melihat secara langsung bagaimana penjajahan Belanda terhadap warga pribumi. Salah satu cara untuk meringankan penderitaan rakyat adalah dengan pendidikan. Wahidin kemudian mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat di Jawa.
Di samping itu, ia menyampaikan gagasannya kepada para pelajar di STOVIA dan diterima. Hingga akhirnya Wahidin dianjurkan membentuk organisasi Budi Utomo.
Budi Utomo dibentuk pada 20 Mei 1908 dengan tujuan untuk memajukan pendidikan rakyat Indonesia. Pada 26 Mei 1917, dr Wahidin menghembuskan napas terakhirnya.
Editor: Faieq Hidayat