Komnas HAM soal Kasus Kematian Arya Daru: Polisi Harus Tetap Buka Peninjauan Kembali
JAKARTA, iNews.id - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah melaporkan hasil pemantauan terhadap kasus kematian diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Arya Daru Pangayunan (ADP). Kasus ini diketahui telah menyita perhatian publik.
Anis menjelaskan pemantauan ini dilakukan untuk memastikan penanganan peristiwa kematian ADP oleh aparat penegak hukum berlangsung secara profesional, akuntabel, transparan, serta menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia dan due process of law sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 18 dan 38 UU Nomor 39 Tahun 1999, dan Minnesota Protocol on the Investigation of Potentially Unlawful Death (2016).
"Sebagai upaya tindak lanjut, Komnas HAM melalui tugas dan kewenangan dalam Pasal 89 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah melakukan langkah-langkah," kata Anis dalam keterangannya, Rabu (30/7/2025).
Pertama, melakukan tinjauan lokasi tempat kejadian sebanyak dua kali yakni pada 11 Juli 2025 dan 22 Juli 2025. Kedua, meminta keterangan kepada 12 orang saksi yang terdiri dari saksi di lokasi kejadian, istri ADP dan keluarga, rekan ADP, serta jajaran di Kementerian Luar Negeri (Kemlu).
Ketiga, memeriksa hasil penyelidikan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya, Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo (RSCM), dan Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) terhadap meninggalnya ADP.
"Berdasarkan upaya tersebut, Komnas HAM menyimpulkan bahwa hingga kini belum ditemukan bukti yang menunjukkan adanya keterlibatan orang lain atas peristiwa meninggalnya ADP," ujarnya.
Meskipun tidak ditemukan keterlibatan pihak lain dalam peristiwa meninggalnya ADP, kata dia, Komnas HAM mencatat dengan serius beredarnya foto dan video jenazah almarhum, rekaman dari tempat kejadian, serta potongan CCTV yang tersebar melalui media sosial dan media pemberitaan tanpa persetujuan keluarga.
Penyebaran informasi visual yang bersifat sensitif tersebut tidak hanya telah memperdalam kesedihan dan trauma keluarga, tetapi juga berpotensi melanggar hak atas martabat manusia. Merujuk pada General Comment Nomor 36 dari Komite Hak Asasi Manusia PBB mengenai hak atas hidup, jenazah tetap harus diperlakukan dengan hormat dan bermartabat.
"Narasi-narasi negatif yang menyertai penyebaran tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk perlakuan yang merendahkan martabat, baik terhadap almarhum maupun keluarganya," tuturnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, kata Anis, Komnas HAM menyampaikan beberapa imbauan kepada sejumlah pihak dalam rangka menyikapi kasus ADP ini.
"Kepada kepolisian, dalam hal ini Polda Metro Jaya, agar tetap membuka ruang untuk melakukan peninjauan kembali jika di kemudian hari muncul bukti atau fakta baru terkait peristiwa meninggalnya ADP," tutur Anis.
Kepada Kemlu, instansi pemerintah lainnya maupun swasta, untuk semakin memperhatikan isu kesehatan mental di lingkungan kerja masing-masing sebagai bagian dari pemenuhan hak atas kesehatan sebagaimana dijamin dalam prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Kepada media massa dan masyarakat, agar menghormati hak atas martabat almarhum dan privasi keluarga dengan tidak menyebarluaskan materi visual atau informasi yang belum terverifikasi, serta menghindari penggunaan narasi atau bahasa yang bersifat spekulatif dan merendahkan.
Komnas HAM menegaskan penyebaran konten yang bersifat sensasional dan vulgar terkait peristiwa ini tidak hanya bertentangan dengan etika kemanusiaan, tetapi juga dapat memperburuk penderitaan psikologis keluarga yang ditinggalkan.
"Komnas HAM berkomitmen untuk terus menjalankan mandat konstitusional dan undang- undang dalam memastikan kondisi yang kondusif bagi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia, termasuk dalam menjamin keadilan dan kebenaran atas setiap peristiwa yang menyangkut hak hidup warga negara," tutur dia.
Editor: Rizky Agustian