Konstruksi Kasus Suap Izin Reklamasi yang Menjerat Gubernur Kepri Nurdin Basirun
JAKARTA, iNews.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Nurdin Basirun, sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap izin reklamasi. Dalam konferensi pers yang berlangsung Kamis (11/7/2019) malam, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengungkapkan konstruksi perkara rasuah tersebut.
Dia menjelaskan, kasus ini bermula pada saat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri mengajukan pengesahan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perda RZWPSK) Provinsi Kepri untuk dibahas dalam rapat paripurna DPRD Kepri. Keberadaan perda tersebut akan menjadi acuan dan dasar hukum pemanfaatan pengelolaan wilayah kelautan Kepri.
Terkait dengan RZWP3K Provinsi Kepri, terdapat beberapa pihak yang mengajukan permohonan izin pemanfaatan laut untuk proyek reklamasi untuk diakomodasi dalam zonasi wilayah laut tersebut. Pada Mei 2019, salah seorang dari pihak swasta bernama Abu Bakar mengajukan izin pemanfaatan laut untuk melakukan reklamasi di Tanjung Piayu, Batam, untuk pembangunan resort (tempat bersantai saat libur) dan kawasan wisata seluas 10,2 hektare.
“Padahal, Tanjung Piayu merupakan area yang memiliki diperuntukkan sebagai kawasan budidaya dan hutan lindung,” ujar Basaria di Jakarta, Kamis (11/7/2019) malam.
Namun, Nurdin Basirun selaku gubernur Kepri kemudian memerintahkan dua anak buahnya, Edy Sofyan (EDS) dan Budi Hartono (BUH), untuk membantu Abu Bakar supaya izin pembangunan resort itu segera disetujui. Edy Sofyan menjabat kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (KP) Kepri, sedangkan Budi Hartono memiliki posisi sebagai kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas KP Kepri.
Untuk mengakali peruntukan kawasan Tanjung Piayu, Budi lantas memberi tahu Abu Bakar bahwa supaya izinnya disetujui, yang bersangkutan harus menyebutkan akan membangun restoran dengan keramba sebagai budidaya ikan di bagian bawahnya. Upaya itu dilakukan agar resort yang dibangun Abu Bakar nanti seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya.
Selanjutnya, Nurdin memerintahkan Edy untuk melengkapi dokumen dan data dukung agar izin Abu Bakar segera disetujui. “Dokumen dan data dukung yang dibuat EDS tidak berdasarkan analisis apa pun. EDS hanya melakukan copy paste (salin dan tempel) dari daerah lain agar cepat selesai persyaratannya,” ucap Basaria.
Dia mengatakan, Nurdin diduga menerima uang dari Abu Bakar, baik secara langsung maupun melalui Edy dalam beberapa kali kesempatan. Perinciannya, pada 30 Mei 2019, Nurdin menerima sebesar 5.000 dolar Singapura dan Rp45 juta. Keesokan harinya, Nurdin langsung menerbitkan izin prinsip reklamasi untuk Abu Bakar dengan luas area 10,2 hektare.
Pada Rabu (10/7/2019) kemarin, Abu Bakar memberikan tambahan uang sebesar 6.000 dolar Singapura kepada Nurdin melalui Budi Hartono. Pemberian uang itu berlangsung di Pelabuhan Sri Bintan Tanjungpinang, Batam. Selepas transaksi antara Abu Bakar dan Budi itulah, tim KPK mengamankan keduanya.
Atas perbuatannya, Nurdin sebagai pihak yang diduga penerima suap dan gratifikasi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11, dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara Edy dan Budi selaku pihak penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Selanjutnya, Abu Bakar sebagai pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Editor: Ahmad Islamy Jamil