Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Buronan Kasus e-KTP Paulus Tannos Berulang Kali Ajukan Penangguhan Penahanan di Singapura
Advertisement . Scroll to see content

Korupsi e-KTP, Keponakan Setnov dan Made Oka Dituntut 12 Tahun

Selasa, 06 November 2018 - 20:33:00 WIB
Korupsi e-KTP, Keponakan Setnov dan Made Oka Dituntut 12 Tahun
Ilustrasi (iNews.id)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung dengan pidana penjara selama 12 tahun. Keduanya dinilai terbukti melakukan korupsi e-KTP.

"Menuntut, agar Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan terdakwa II Made Oka Masagung pidana penjara 12 tahun dan pidana denda Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 6 bulan," kata JPU Wawan Yunarwanto saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (6/11/2018).

Irvanto merupakan mantan wakil sekretaris jenderal DPP Partai Golkar sekaligus mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera dan mantan ketua konsorsium Murakabi. Sedangkan Oka adalah pemilik OEM Investment Pte Ltd dan Delta Energy Pte Ltd sekaligus mantan komisaris PT Gunung Agung.

Surat tuntutan nomor: 102/TUT.01.06/24/11/2018 atas nama Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung dibacakan JPU yang diketuai Abdul Basir dengan anggota di antaranya Wawan Yunarwanto dan Taufik Ibnugroho.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan, JPU menilai Irvanto Made Oka telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pidana korupsi secara bersama-sama dengan delapan orang lainnya dalam proyek pengerjaan pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2011-2013.

Secara khusus, perbuatan Irvanto dan Oka mencakup dua hal. Yakni secara langsung maupun tidak langsung turut serta memenangkan perusahaan tertentu dalam proyek e-KTP. Selain itu, keduanya juga menjadi perantara dalam pembagian fee dari proyek tersebut untuk pihak-pihak tertentu.

JPU Abdul Basir menjelaskan, Irvanto dan Made Oka berperan sentral dalam penerimaan uang USD7,3 juta untuk Setya Novanto yang terpecah dua bagian terkait korupsi e-KTP. Pertama, Irvanto menerima USD3,5 juta kurun 19 Januari-19 Februari 2012 dari petinggi Biomorf Mauritius Limited sekaligus executive director pada PT Biomorf Lone Indonesia (almarhum) Johannes Marliem.

Penerimaan uang oleh Irvanto dibantu Marketing Manager PT Inti Valuta (money changer) Riswan alias Iwan Barala dan Komisaris PT Berkah Langgeng Abadi (money changer) July Hira. Iwan dan July yang menyediakan beberapa rekening perusahaan atau money changer di luar negeri khususnya Singapura untuk penerimaan uang yang ditransfer Marliem.

Uang tersebut terlebih dahulu diputarkan dalam berbagai rekening. Kemudian uang tidak diambil dalam bentuk mata uang asing, tapi ditarik dan dicairkan di Indonesia melalui mekanisme barter.

Kedua, Oka menerima USD3,8 juta yang terdiri USD1,8 juta dari Marliem yang diterima pada 14 Juni 2012 lewat rekening OEM Investment Pte Ltd pada OCBC Center Branch dengan underlying transaction 'software development final payment'. Kemudian, pada 10 Desember 2012 sebesar USD2 juta dari Anang Sugiana Sudihardjo‎ yang diterima lewat rekening Bank DBS Singapura atas nama Delta Energy Pte Ltd.

Transaksi penerimaan uang dari Anang disamarkan dengan perjanjian penjualan saham sebanyak 100.000 lembar milik Delta Energy Pte. Ltd di Neuraltus Pharmaceutical Incorporation. Perusahaan tersebut, berdiri berdasarkan hukum negara bagian Delaware Amerika Serikat.

Oka kemudian menemui Hery Hermawan selaku Direktur PT Pundi Harmez Valasindo. Omay menyampaikan ke Hery bahwa Oka memiliki sejumlah uang di Singapura. Tapi Oka mau menarik secara tunai di Jakarta tanpa melakukan transfer dari Singapura. Akhirnya Hery memberikan uang tunai ke Oka secara bertahap.

"Dari fakta-fakta di atas, maka dapat disimpulkan uang-uang yang diterima oleh para terdakwa merupakan uang dari hasil kejahatan karena cara memasukkannya ke wilayah Indonesia tidak menggunakan sarana perbankan yang lazim dipergunakan (transfer), melainkan dengan menggunakan barter (set off) dan para terdakwa menerima uang tunainya di Jakarta. Memasukkannya ke Indonesia di tempuh dengan cara-cara yang tidak lazim, guna menghindari terdeteksi oleh aparat penegak hukum atau PPATK Indonesia," tegas JPU Basir.

Atas tuntutan JPU, Irvanto dan Oka serta tim penasihat hukum masing-masing memastikan akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi). "Saya akan membuat pledoi. Saya buat sendiri, kuasa hukum buat sendiri," ujar Irvanto.

Editor: Zen Teguh

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut