KPK Rilis Daftar Pelaporan Gratifikasi, Jokowi Paling Besar Jumlahnya
JAKARTA, iNews.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjabarkan hasil pelaporan gratifikasi dari Januari hingga Juni 2018. Berdasarkan data lembaga antirasuah tersebut, kementerian yang memiliki frekuensi pelaporan paling tinggi adalah Kementerian Agama, yakni sebanyak 59 laporan.
Sementara, total nilai gratifikasi paling besar yang dilaporkan berasal dari Kementerian Keuangan, yaitu senilai Rp2,8 miliar. Hingga 4 Juni 2018 ini, total pelaporan gratifikasi yang diterima KPK mencapai 795 laporan.
Dari jumlah itu, sebanyak 543 laporan atau sekira 67 persen di antaranya dinyatakan menjadi milik negara, sedangkan 15 laporan atau sekitar 2 persen dinyatakan milik penerima. Sisanya sebesar 31 persen lagi adalah surat apresiasi atau masuk ke dalam kategori negative list.
“Adapun total nilai status kepemilikan gratifikasi yang dilaporkan ke KPK selama periode Januari–Juni 2018 mencapai Rp6,2 miliar,” ujar Direktur Gratifikasi KPK, Giri Suprapdiono, di Jakarta, Senin (4/6/2018).
Berikut data lengkap peringkat pelaporan gratifikasi ke KPK hingga 4 Juni 2018 ini:
Frekuensi Laporan Gratifikasi
1. Kementerian Agama (59 laporan)
2. Kementerian Perhubungan (58 laporan)
3. Kementerian Kesehatan (50 laporan)
4. Pemprov DKI Jakarta (45 laporan)
5. Kementerian Agama (38 laporan)
Frekuensi Penetapan Milik Negara
1. Kementerian Agama (52 surat keputusan/SK)
2. Kementerian Perhubungan (46 SK)
3. Kementerian Agama (38 SK)
4. Kementerian Agama (18 SK)
5. Bpjs Ketenagakerjaan (17 SK)
Total Gratifikasi Milik Negara Terbesar
1. Presiden Joko Widodo (Rp58 miliar)
2. Wakil Presiden Jusuf Kalla (Rp40 miliar)
3. Pegawai Pemprov DKI Jakarta (Rp9,8 miliar)
4. Dirjen salah satu kementerian; (Rp5,2 miliar)
5. Mantan menteri ESDM Sudirman Said (Rp3,9 miliar)
Giri mengatakan, kesadaran setiap penyelenggara negara dalam melaporakn gratifikasi sangatlah penting. Sebab, berdasarkan aturan, penerima harus melaporkan gratifikasi paling lambat 30 hari setelah menerima.
Jika tidak, penerima dapat dijerat dengan Undang-undang No 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No 20 Tahun 2001 dengan ancaman pidana paling singkat 4 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara, serta denda 200 juta atau paling banyak Rp1 miliar.
Editor: Ahmad Islamy Jamil