KPK Sita Ruko hingga Rumah terkait Kasus Pemerasan Kemnaker, Senilai Rp4,9 Miliar
JAKARTA, iNews.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita aset para tersangka kasus dugaan pemerasan pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Nilai penyitaan aset mencapai Rp4,9 miliar.
"Turut disita aset dari para tersangka pada perkara dugaan pemerasan di Kemnaker," kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis (10/7/2025).
Dia menjelaskan, aset yang disita meliputi dua unit ruko di Jakarta senilai Rp1,2 miliar. Lalu satu unit rumah di Jakarta Selatan sekitar Rp2,5 miliar dan satu unit rumah di Depok senilai Rp200 juta.
Kemudian satu bidang sawah di Cianjur senilai Rp200 juta dan dua bidang tanah di Bekasi senilai Rp800 juta juga ikut disita KPK.
Sebelumnya, Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo mengungkapkan identitas para tersangka kasus tersebut pada Kamis (5/6/2025).
Mereka adalah SH (Suhartono) selaku Dirjen Binapenta dan PKK Kemnaker 2020-2023, HYT (Haryanto) selaku Dirjen Binapenta dan PKK 2024-2025, WP (Wisnu Pramono) selaku Direktur PPTKA 2017-2019, DA (Devi Angraeni) Direktur PPTKA 2024-2025.
Kemudian, GW (Gatot Widiartono) Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian Tenaga Kerja Asing 2021-2025, PCW (Putri Citra Wahyoe) selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024, JS (Jamal Shodiqin) selaku Staf Direktorat PPTKA 2019-2024, dan AE (Alfa Eshad) selaku Staf pada Direktorat PPTKA 2019-2024.
Budi menjelaskan, para tersangka diduga memeras TKA yang akan kerja di Indonesia. Para TKA diketahui harus meminta izin berupa RPTKA yang diterbitkan oleh Ditjen Binapenta PKK Kemnaker.
"Celah pembuatan RPTKA harus ada wawancara, wawancara ini seharusnya setelah ajukan online dan diverifikasi dulu, ketika tidak lengkap akan diberitahukan dan pemberitahuan ini akan berlangsung selama lima hari," ujar Budi dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis, 5 Juni 2025.
Setelah 5 hari tak ada perbaikan, kata Budi, maka RPTKA harus kembali diajukan. Di situlah para tersangka menghubungi para agen TKA dan melakukan pemerasan untuk menerbitkan RPTKA.
"Pemberitahuan tidak online tapi secara pribadi melalui WhatsApp kepada agen, sehingga mereka segera lengkapi, tapi yang gak kasih uang gak dikasih tau udah lengkap atau belum. Ini bikin agen datang ke oknum kenapa pengajuan belum ada pemberitahuan," ujarnya
Editor: Rizky Agustian