Mencermati Merdeka Belajar Menteri Nadiem Makarim
M Aminudin
Peneliti Senior Institute for Strategic and Development Studies (ISDS)
Pengurus Pusat Alumni Unair
Staf Ahli Pusat Pengkajian MPR RI 2005
Staf Ahli DPRRI 2008/Tim Ahli DPD RI 2013
MENTERI Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim ingin melakukan perubahan besar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dia mengubah sistem pengukuran prestasi siswa dari standar nasional menjadi internasional. Selain itu mengubah ujian nasional menjadi asesmen nasional selaras dengan numerasi literasi standar internasional.
Apa yang diproyeksikan Mendikbudristek sebagai Merdeka Belajar lebih banyak project base learning untuk mengasah kompetensi yang jauh lebih penting dari menghapal. Dalam perspektif ini melalui project base learning anak-anak didik diharapkan bisa mengasah kemandirian, kreativitas, dan karakter.
Nadiem menilai project base learning memegang peran penting untuk melepas sekat-sekat di dunia pendidikan. Merdeka Belajar adalah melepaskan sekat antara dunia industri dan universitas, melepas yang disebut belajar, mengabdi pada masyarakat dan riset, melepaskan sekat fakultas dan universitas. Sekolah/kampus, semua semua perusahaan, lembaga riset, dan organisasi nirlaba kelas dunia bisa menjadi mini universitas dan memberikan 20 SKS pengajaran.
Program Merdeka Belajar Indonesia saat ini butuh perubahan mindset yang berbeda, yakni bahwa anak muda mengambil risiko demi karier adalah hal yang normal. Selain itu, kegagalan dalam proses dengan mencapai cita-cita harus menjadi mindset sesuatu yang normal.
Merdeka Belajar adalah sebuah konsep pengembangan pendidikan di mana seluruh pemangku kepentingan diharapkan menjadi agen perubahan (agent of change). Para pemangku kepentingan tersebut meliputi keluarga, guru, institusi pendidikan, dunia industri, dan masyarakat.
Terdapat tiga indikator keberhasilan program Merdeka Belajar, yaitu partisipasi siswa-siswi dalam pendidikan Indonesia yang merata, pembelajaran yang efektif, dan tiadanya ketertinggalan anak didik. Ketiga indikator tersebut bisa tercapai dengan perbaikan pada hal-hal berikut.
Pertama, perbaikan infrastruktur dan teknologi pendidikan. Infrastruktur kelas di masa depan harus lebih baik dari hari ini. Kemudian platform pendidikan nasional berbasis teknologi juga harus digalakkan.
Kedua, hadirnya kebijakan, prosedur, dan pendanaan yang efektif dan efisien. Di dalamnya termasuk kontribusi eksternal, baik dari pihak pemerintah maupun swasta. Pembelanjaan anggaran pendidikan pun harus efisien dan akuntabel.
Ketiga, adanya kepemimpinan, andil masyarakat, dan budaya yang mendukung. Dalam hal ini, kompetensi guru, kepala sekolah, dan pemerintah daerah harus menjadi perhatian. Selain itu, kolaborasi dan pembinaan baik lokal maupun global antara guru, satuan pendidikan, dan industri juga perlu dihadirkan.
Konsep Merdeka Belajar dari Mendikbudistek sebenarnya memiliki beberapa kemiripan dengan Teori belajar Konstruktivistik yang memahami belajar sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh peserta didik itu sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui (Schunk, 1986).
Dengan kata lain, karena pembentukan pengetahuan adalah peserta didik itu sendiri, peserta didik harus aktif selama kegiatan pembelajaran, aktif berpikir, menyusun kosep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar peserta didik itu sendiri.
Peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar.
Sementara kurikulum sebelum Merdeka Belajar ada beberapa kesamaan dengan teori behavioristik, memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata telah terstruktur rapi dan teratur, maka peserta didik atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Peserta didik atau peserta didik adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri peserta didik.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas mimetic, yang menuntut peserta didik untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Thorndike (Schunk, 2012)
Perbedaan mendasar lain terletak Evaluasi belajar pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih objektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya.
Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar peserta didik.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe objektifis/behavioristik, yang berbeda dengan teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free.
Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik. Beberapa hal penting tentang evaluasi dalam aliran konstruktivistik (Siregar & Nara, 2010), yaitu: diarahkan pada tugas- tugas autentik, mengkonstruksikan pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi, mengkonstruksi pengalaman peserta didik, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
Dengan meneropong kebijakan belajar merdeka versi Mendikbudristek nampaknya dunia pendidikan Indonesia akan memasuki era baru yang lebih mendorong siswa makin aktif dalam proses belajar-mengajar dan semakin besar otonomi sekolahan dalam proses pembelajaran.
Editor: Anton Suhartono