Mengenang Mohammad Natsir, Eks Perdana Menteri Indonesia Pendiri Masyumi
Pada 1927, dia melanjutkan pendidikan di jurusan kesusastraan barat klasik Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung. Ketertarikannya terhadap politik dimulai saat memasuki JIB cabang Bandung yang didirikan Haji Agus Salim dan Wiwoho Purbohadijoyo.
Natsir pertama kali mengenal Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito dan Kasman Singodimedjo, yang belakangan menjadi tokoh politik Masyumi di JIB Bandung. Di sana dia juga mengenal Nur Nahar, perempuan yang kelak menjadi istrinya.
Pada 1931, dia melanjutkan studi di Lagere Onderwijs (LO) atau Sekolah Guru Lanjutan non-Eropa. Dia menyelesaikan studi setahun kemudian dan mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung.
Kesibukan Natsir sebagai pendidik tidak mengurangi aktivitas politiknya. Dia tetap rajin berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Pada 1930, Natsir mulai aktif di partai politik. Dia menjadi anggota dari Partai Sarekat Islam (PSI) cabang Bandung dan bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII) yang didirikan dr. Soekiman Wirjosandjojo, KH. Mas Mansur, R. Wiwohono, dan Ki Bagus Hadikusomo setelah PSI terpecah belah pada 1939.
Natsir kemudian aktif di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berdiri pada 21 September 1937 atas inisiatif KH Mas Mansur (Muhammadiyah), KH A Wahab Chasbullah (NU), KH A Achmad Dahlan (Non Partai), dan Wondoamiseno (SI). Pada masa pendudukan Jepang MIAI diubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) hingga diresmikan sebagai partai politik oleh Natsir, Sukiman dan Mohammad Roem pada 7 November 1945.
Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) serta dalam kabinet Hatta (1948), Muhammad Natsir ditunjuk sebagai Menteri Penerangan.
Natsir tercatat mengajukan Mosi Integral kepada parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS). Mosi tersebut mengembalikan Indonesia dari negara serikat menjadi negara kesatuan pada 17 Agustus 1950.