Mengubah Krisis Menjadi Maslahat: Belajar dari Selandia Baru

Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo
Panglima TNI (2015-2017)
KRISIS nasional yang terjadi di Selandia Baru, Jumat 15 Maret 2019 sungguh mengejutkan. Seorang pria penganut ideologi supremasi kulit putih menembak mati 50 orang yang sedang shalat Jumat di dua masjid di Christchurch.
Selandia Baru selama ini dikenal sebagai negara yang aman dan damai. Rakyatnya hidup tentram dengan toleransi dan solidaritas sosial yang tinggi. Hampir tidak terdengar gesekan sosial yang menonjol apalagi dengan latabelakang unsur SARA. Maka ketika terjadi penembakan brutal itu, dunia pun terhenyak.
Yang menjadi sangat menarik adalah bagaimana Selandia Baru baik pemimpin maupun rakyatnya menyikapi dan bertindak menghadapi krisis yang sangat tidak diperkirakan ini.
Kepemimpinan Perdana Menteri (PM) Jacinda Ardern, mulai dari respons awal, penyikapan, tindakan dan ucapan, serta berbagai langkah yang dilakukannya mengundang pujian dari masyarakat dunia. Sebagai seorang pemimpin yang relatif muda baik dari sisi usia maupun masa jabatannya sebagai PM (mulai 2017), tindakannya sungguh sangat membanggakan. Bahkan oposisi Partai Nasional Judith Collins mengatakan pada parlemen bahwa perdana menteri telah bertindak "luar biasa".
Kepemimpinan PM Ardern tidak hanya mampu mengatasi krisis. Dia mampu menjadikan peristiwa ini momentum untuk menyatukan rakyat dan bangsanya. Ardern memimpin Selandia Baru membangun kembali jalinan sosial yang coba dihancurkan oleh tindakan biadab teroris.
Dia juga berhasil menemukan kata-kata yang tepat, mengucapkan nada yang tepat, dan menyatukan bangsanya-sesuatu yang hanya bisa dilakukan sedikit pemimpin dunia.
Dunia pun memuji kepemimpinannya. "Ardern telah menjadi wajah kesedihan dan kedukaan bangsanya, dan tekad mereka," tulis Ishaan Tharoor di The Washington Post. "Beginilah sosok seorang pemimpin," kata Grace Back seperti dikutip majalah Marie Claire Australia.
"Kami adalah satu, mereka adalah kami". Dengan hanya enam kata, PM Ardern menyatukan semua warga Selandia Baru dan mengirim pesan yang jelas kepada dunia. Seluruh negeri apapun ras dan agamanya, apapun kewarganegaraannya, bersatu dalam simpati dan duka yang mendalam sekaligus meringankan derita korban penembakan dan keluarganya.
Alih-alih teroris berniat menghancurkan persatuan dan solidaritas sosial melalui penghancuran keberagaman, justru yang terjadi sebaliknya, keberagaman menjadi perekat untuk bersatu semakin erat tanpa sekat.
Penghormatan terhadap nilai-nilai Islam, antara lain dari para wanita Selandia Baru, termasuk PM Ardern mengenakan kerudung sebagai wujud duka yang mendalam, sungguh sangat meringankan beban duka umat muslim di negara itu.