Pengidap Sakit Kronis Ajukan Gugatan ke MK, Minta Diakui sebagai Disabilitas
JAKARTA, iNews.id - Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru, dua orang pengidap penyakit kronis mengajukan permohonan uji materil terkait Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Permohonan perkara itu terdaftar di Kepaniteraan MK dengan Nomor 130/PUU-XXIII/2025.
Adapun pasal yang diuji yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas. Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak adanya pengakuan eksplisit penyakit kronis sebagai bagian dari ragam disabilitas.
Sidang pendahuluan digelar pada Rabu (13/8/2025) kemarin. Pemohon menilai tidak dicantumkannya penyakit kronis pada disabilitas memberikan kerugian yang nyata apalagi dalam mengakses layanan publik yang menjadi hak istimewa penyandang disabilitas.
Mereka meminta MK untuk memasukkan penyakit kronis sebagai salah satu ragam penyandang disabilitas dalam UU Penyandang Disabilitas.
Raissa menjelaskan dirinya adalah penyintas Thoracic Outlet Syndrome (TOS) selama 10 tahun. Dia mengalami nyeri berkelanjutan di tangan, pundak, dan dada kanan atas dengan intensitas yang berfluktuasi. Kondisi ini membatasi fungsi gerak, stamina, dan mobilitas, terutama saat flare-up.
Sementara, Raissa menyebut kondisi Deanda Dewindaru merupakan penyintas penyakit autoimun Guillain-Barré Syndrome, Sjögren’s Disease, dan Inflammatory Bowel Disease selama tiga tahun terakhir. Deanda mengalami kelelahan kronis dan flare-up yang membatasi stamina serta fungsi gerak.
Kuasa hukum para pemohon, Reza, menyatakan ketiadaan pengakuan eksplisit ini menghambat sosialisasi dan advokasi hak-hak bagi orang dengan penyakit kronis.
"Ketika melakukan sosialisasi mengenai layanan publik, para Pemohon harus menjelaskan kondisi mereka secara rinci. Jika penyakit kronis diakui sebagai ragam disabilitas, proses ini akan lebih mudah dipahami pemangku kebijakan dan memastikan hak mereka terpenuhi," ujar Reza.
Tidak adanya aturan itu dinilai bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena membatasi kesempatan para pemohon untuk mengembangkan diri, berpartisipasi dalam masyarakat, dan mendapatkan layanan yang menjadi hak penyandang disabilitas.
"Pengakuan eksplisit akan mempermudah sosialisasi, memperkuat advokasi, dan menjamin hak orang dengan penyakit kronis terpenuhi secara setara," tutupnya.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan pemohon untuk memerinci terkait penyakit yang dimaksud. Para pemohon juga diminta untuk menguraikan alasan kuat yang menunjukkan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma yang telah berjalan.
"Harus bisa menguraikan apa yang menjadi alasan yang sangat kuat yang menerangkan ada kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma yang diajukan pengujian itu. Poin ini nanti Anda uraikan. Kenapa kemudian saya perlu menguatkan di bagian ini, karena ini kan yang saudara katakan gangguan penyakit kronis. Gimana saudara bisa menunjukkan bahwa ada kerugian konstitusional berkaitan dengan klasifikasi penyakit kronis," kata Enny.
Majelis hakim memberikan waktu 14 hari kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Selasa 26 Agustus 2025 pukul 12.00 WIB.
Editor: Rizky Agustian