Pengamat: Putusan MK Pisah Pemilu Picu Kompleksitas Baru, Dinasti Politik Bisa Menguat
JAKARTA, iNews.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan pemisahan antara pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal mulai 2029 menuai pro-kontra. Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXI/2024, MK menyebutkan pelaksanaan pemilu lima kotak dalam satu hari, yang mencakup pemilihan presiden, DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota, bertentangan dengan UUD 1945.
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Indonesia, Arya Fernandes, menilai putusan MK Nomor 135 ini diperkirakan akan mengubah sebagian besar arah politik di Indonesia. Pemisahan pemilu nasional dan lokal berpotensi menimbulkan kompleksitas baru dalam dinamika politik Indonesia.
"Dalam konstitusi, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga opsi-opsi lain menjadi sulit untuk direalisasikan," kata Arya, dikutip dari ulasan Policy Brief CSIS Indonesia, Dampak dan Kompleksitas Putusan MK Tentang Pemilu Nasional dan Lokal, Jumat (18/7/2025).
Menurutnya, perubahan besar dalam sistem kepemiluan seharusnya lahir dari konsensus bersama para pembuat undang-undang. Posisi MK sebaiknya hanya memutuskan masalah-masalah pokok, bukan masuk pada masalah teknis kepemiluan.
"Pilihan terhadap sistem dan waktu pemilu ke depan harusnya merupakan kewenangan pembuat UU," ujar Arya.
Arya menyoroti anggapan keserentakan pemilu menenggelamkan isu lokal tidak sepenuhnya benar. Fakta di lapangan menunjukkan deviasi antara perolehan kursi di tingkat nasional dan lokal cukup tinggi, yang berarti pemilih mampu membedakan calon legislatif nasional dan lokal.
"Apalagi karena Indonesia menggunakan sistem suara terbanyak, desain kampanye dan isu-isu calon juga cukup beragam, tergantung demografi pemilih di tiap dapil dan kebutuhan masyarakat lokal."