Polemik #2019GantiPresiden, Hendardi Ingatkan Warga Jangan Diprovokasi
JAKARTA, iNews.id – Gerakan #2019GantiPresiden terus memicu polemik. Di sejumlah daerah, gerakan ini mendapat penolakan dan tentangan kelompok masyarakat.
Ketua Setara Institute Hendardi menuturkan, gerakan #2019GantiPresiden merupakan aspirasi politik warga negara yang disuarakan di ruang-ruang terbuka yang ditujukan untuk mempengaruhi pilihan warga negara pada kontestasi politik pemilihan presiden 2019.
Secara normatif, kata dia, aspirasi tersebut merupakan hal biasa saja. Bahkan, penyampaiannya di muka umum merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, karena UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat dan berkumpul.
Menurut Hendardi, pelarangan yang berlebihan atas aksi tersebut, pada batas-batas tertentu bertentangan dengan semangat konstitusi dan demokrasi. Secara operasional hak untuk bebas berpendapat dan berkumpul dijamin dalam UU 39/1999 tentang HAM dan UU 9/1998 tentang Tata Cara Mengemukakan Pendapat di Muka Umum.
”Kendati demikian, mengingat kebebasan berpendapat dan berkumpul merupakan hak yang bisa ditunda pemenuhannya (derogable rights), maka tindakan aparat keamanan yang melarang beberapa acara tersebut dapat dibenarkan jika betul-betul terdapat alasan objektif yang membenarkannya,”kata Hendardi di Jakarta, Senin (27/8/2018).
Dia menjelaskan, alasan-alasan objektif dimaksud dapat berupa potensi instabilitas keamanan, potensi pelanggaran hukum: baik dalam terkait konten kampanye yang oleh beberapa pakar bisa dikualifikasi makar, pelanggaran hukum pemilu, khususnya larangan penyebaran kebencian dan permusuhan, maupun dalam konteks waktu kampanye.
“Penggunaan alasan-alasan tersebut merupakan hak subjektif institusi keamanan yang bertolak dari analisis situasi dan potensi destruktif lainnya dan dibenarkan oleh UU 9/1998 dan peraturan turunannya,” ujar Hendardi.
Dia melanjutkan, sebagai hak subjektif, jika masyarakat tidak menerima langkah pembatalan, maka bisa mempersoalkannya melalui mekanisme hukum.
Penolakan #2019GantiPresiden di Riau, Minggu (26/8/2018).
Polisi dengan bekal sejumlah regulasi seperti UU 9/1998, Peraturan Pemerintah Nomor 60/2017 tentang Tata Cara Perizinan dan Pengawasan Kegiatan Keramaian Umum, Kegiatan Masyarakat Lainnya, dan Pemberitahuan Kegiatan Politik, dan sejumlah aturan lain, memiliki kewenangan melakukan pembatalan suatu kegiatan.
Menurut Hendardi, untuk menjaga akuntabilitas kerja, aparat keamanan harus menyampaikan alasan-alasan pembatalan itu pada warga negara/kelompok yang hendak menyelenggarakan kegiatan.
Sementara untuk menghindari kegaduhan berkelanjutan, warga negara/kelompok masyarakat juga diharapkan memilih diksi kampanye yang tidak memperkuat kebencian pada pasangan calon lain, karena seharusnya pemilihan presiden adalah kontestasi gagasan.
”Warga harus disuguhi informasi alasan-alasan faktual untuk memilih atau tidak memilih seorang calon. Bukan diprovokasi dengan slogan yang tidak mencerdaskan,” kata dia.
Editor: Zen Teguh