Presiden Jokowi Diminta Jadi Seorang Negarawan, Tidak Memihak dan Kampanye
JAKARTA, iNews.id - Pengamat politik Dedi Kurnia Syah meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi seorang negarawan di tengah proses Pemilu 2024. Jokowi lebih baik mengambil posisi netral.
"Beliau harus berpihak pada negara. Dalam arti, misalnya sekarang banyak anggota kabinet, para menteri, para wakil menteri, yang secara terang-terangan membela salah satu kandidat, presiden tidak bisa diam," kata Dedi Kurnia, Jumat (26/1/2024).
Menurut Dedi, Jokowi sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara, presiden merupakan penyelenggara pemilihan.
"Kalau presiden sebagai penyelenggara pemilihan lalu memihak maka ini bisa saja merusak kualitas dari proses elektoral itu," ujar dia.
Jokowi sebelumnya menyatakan presiden boleh memihak dan kampanye. Namun tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
"Statement presiden boleh memihak dan boleh melakukan kampanye adalah statement yang menyesatkan," katanya.
Menurut Dedi, pernyataan Jokowi itu juga dapat mempengaruhi institusi yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan pemilu, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Dalam Negeri, dalam menjalankan tugasnya.
"KPU, Kementerian Dalam Negeri, termasuk juga mitra di parlemen yang memiliki korelasi dengan pemilihan umum, besar kemungkinan mereka akan terpengaruh ketika tahu presiden memihak ke mana," kata Direktur Eksekutif Indonesian Political Opinion (IPO) ini.
Meskipun KPU tidak tunduk secara langsung kepada kepala negara, lanjut Dedi, sikap presiden akan akan tetap dapat memengaruhi keberanian penyelenggara pemilu dalam menjalankan kewenangan.
"Karena secara psikologis, meskipun KPU tidak secara langsung tunduk pada presiden dalam penyelenggaraan pemilu, presiden punya andil dalam menentukan komisionernya,” ujar Dedi.
Senada, pakar politik Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, pernyataan Jokowi bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang selalu menyatakan bahwa presiden akan netral, akan mendukung ketiga paslon.
“Namun belakangan ini justru atau kemarin menyatakan boleh memihak. Kalau kita lihat sebetulnya ini bertentangan dengan sumpah jabatan untuk presiden dan juga menteri,” kata Ikrar.
Ikrar juga menyebutkan, sulit dibedakan yang mana aktivitas presiden dan para menteri adalah kunjungan kerja dan yang berkampanye.
“Karena kita tahu bahwa kunjungan presiden dan para Menteri ke beberapa daerah itu tidak sedikit yang melakukan kampanye politik,” tutup Ikrar.
Sebelumnya diberitakan, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut kepala negara boleh berkampanye dan berpihak bukan hal yang baru. Dia mengatakan, presiden sebelumnya juga memiliki preferensi politik dan berkampanye memenangkan partai yang didukungnya.
"Sekali lagi, apa yang disampaikan presiden Jokowi bukan hal yang baru. Koridor aturan terkait hal ini sudah ada di UU Pemilu. Demikian pula dengan praktik politiknya juga bisa dicek dalam sejarah pemilu setelah reformasi," kata Ari dalam keterangannya, Kamis (25/1).
Editor: Faieq Hidayat