Rampai Nusantara: Proyek Kereta Cepat Whoosh Bukan untuk Cari Untung
JAKARTA, iNews.id - Ketua Umum Rampai Nusantara Mardiansyah Semar menegaskan, proyek kereta cepat Whoosh bukan untuk mencari untung. Hal itu disampaikan merespons anggapan ada kerugian negara akibat proyek kereta cepat.
"Memang nggak ada juga kalau bicara soal transportasi publik model kayak kereta cepat dan sebagainya bicara untung rugi, bahwa negara harus untung, kan nggak di situ," kata Mardiansyah dalam program Rakyat Bersuara bertajuk 'Ada Korupsi Triliunan di Kereta Cepat?' di iNews, Selasa (21/10/2025).
Mengenai adanya indikasi transaksi gelap di balik proyek kereta cepat, dia mempersilakan hal itu dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Silakan kumpulkan datanya, laporkan ke KPK, jadi clear," ujar Mardiansyah.
Mardiansyah menegaskan, Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) ketika mengeluarkan kebijakan kereta cepat tidak memikirkan kepentingan individu, melainkan kepentingan negara.
"Berdasarkan apa yang dia pertimbangkan, bahwa negara memerlukan itu, tidak hanya soal untung rugi," kata Mardiansyah.
Sebelumnya, analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai terdapat dugaan transaksi gelap di balik proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh. Ubed menuturkan, dugaan transaksi gelap itu dapat dilihat dari dua indikator. Pertama, perubahan kesepakatan Indonesia dan China terkait skema proyek Whoosh.
"Dugaan kuat ada transaksi gelap itu adalah ketika terjadi perubahan. Perubahan apa? Pertama misalnya perubahan tentang kesepakatan antara Indonesia dengan China," ujar Ubed dalam acara yang sama.
Menurut dia, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung semula mengatur skema proyek Whoosh menggunakan skema business to business (B2B).
Namun, lanjutnya, skema itu berubah menjadi business to government (B2G) berdasarkan Perpres Nomor tentang Perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.
"Kemudian di peraturan terbaru itu justru kemudian disebutkan bahwa negara boleh memberikan uang melalui penanaman modal dalam negeri, dicantumkan dengan tegas artinya negara dilibatkan, APBN boleh dikeluarkan di situ," kata dia.
Dia juga menyoroti buku yang dikerluarkan PT KAI. Dia mengatakan buku itu secara detail menjelaskan alasan Indonesia setuju menggandeng China untuk menggarap proyek Whoosh.
Ubed menjelaskan, salah satu syaratnya yakni tidak ada jaminan dari pemerintah dan APBN. Namun, kata dia, skema itu tiba-tiba berubah.
"Itu tertulis di buku itu, jadi clear ini aturan resmi bahwa tidak ada intervensi negara di dalam mengeluarkan untuk membangun kereta cepat itu, tiba-tiba berubah. Nah perubahan ini membuat tanda tanya," kata dia.
Sementara indikator kedua, lanjut Ubed, yakni semula proyek itu akan digarap bersama Jepang. Bahkan, Jepang telah melakukan studi kelayakan dengan menawarkan bunga sebesar 0,1 persen. Namun di tengah jalan, lanjutnya, pemerintah menggandeng China dengan bunga 2 persen yang meningkat menjadi 3,4 persen.
Ubed berkesimpulan, kedua indikator itu menimbulkan pertanyaan. Dia pun mempertanyakan hal di balik keputusan tersebut.
Editor: Reza Fajri