RUU EBT Diharapkan Lahirkan Regulasi yang Lebih Berkeadilan Bukan Bermotif Bisnis
JAKARTA, iNews.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang kini tengah digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendapat beragam tanggapan serta harapan dari para stakeholder. Salah satunya, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara yang mewanti-wanti agar RUU EBT mampu membangun kemandirian energi, industri nasional, dan kesejahteraan masyarakat. Bukan sebaliknya yang justru ditunggangi motif bisnis.
Hal ini terungkap dalam Diskusi Polemik MNC Trijaya bertema "Regulasi EBT untuk Siapa?" yang digelar akhir pekan lalu. Selain Marwan Batubara diskusi juga dihadiri akademisi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang juga mantan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Prof Mukhtasor serta Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Marwan mengingatkan agar RUU EBT yang dibuat bukan karena hanya mendapat informasi dari satu pihak, regulasi yang muncul lebih banyak untuk kepentingan bisnis, mengakomodasi motif-motif bisnis yang berlindung dalam narasi pencapaian target bauran EBT 23% pada 2025 dan mitigasi perubahan iklim.
Dia menegaskan kepentingan bisnis yang dimaksud Marwan, misalnya terakomodasi pada skema feed in tariff dalam RUU EBT yang berpotensi merugikan dalam jangka panjang.
Pada kesempatan yang sama, Prof Mukhtasor menilai skema feed in tariff yang diterapkan pada kontrak jual beli listrik EBT merupakan langkah tidak tepat. Skema tersebut kini sudah tidak lagi dipakai di banyak negara karena awalnya digunakan untuk mengembangkan EBT yang masih mahal sehingga butuh insentif.
Dia juga menyoroti alasan pembuatan UU EBT seharusnya jelas di awal. Menurutnya, jika dasarnya adalah upaya menurunkan emisi karbon, menurutnya tak ada hal yang sangat krusial untuk menggenjot pembangunan EBT dengan mengorbankan kepentingan pihak lain.
Karena menurutnya kalau hanya menurunkan emisi, kita itu sebenarnya sedang baik-baik saja. Sebab emisi sektor kelistrikan itu turun dari 1.669 juta ton CO2 jadi 1.355 juta ton CO2 ekuivalen.
“Justru yang perlu dikhawatirkan di sektor kehutanan, bisa tidak hentikan kebakaran hutan, alih fungsi lahan untuk tekan emisi karbon," ujarnya.
Sementara, jika motifnya adalah untuk mencapai bauran EBT 23% di 2025 dari sekitar 11,5% saat ini, Mukhtasor mengingatkan bahwa target itu bukanlah sesuatu yang harus dicapai dengan segala cara. Dia mengingatkan, target 23% EBT di 2025 itu sebenarnya dibarengi dengan keterangan sepanjang keekonomiannya terpenuhi.
“Jadi kalau keekonomian ini tidak terpenuhi, ya nggak harus," tandasnya.
Dia mengungkapkan, kebijakan pengembangan EBT harus diikuti upaya menumbuhkan industri terkait EBT di dalam negeri sehingga dapat menciptakan nilai tambah seperti serapan tenaga kerja oleh industri, pajak, dan lainnya.
Mukhtasor menambahkan, RUU EBT harus disinkronisasi dengan undang-undang ataupun regulasi lainnya, seperti regulasi pengembangan industri dalam negeri. Menurutnya, insentif sebaiknya disalurkan untuk menciptakan kemandirian industri nasional di bidang EBT, semisal pada industri dalam negeri yang mengembangkan dan memproduksi panel surya, turbin, dan sebagainya.
"Intinya bangun dulu ekonomi produktif, jangan modal nasional nanti habis untuk feed in tariff saja tanpa ada nilai tambahnya. Hapus feed in tariff dari RUU EBT," tegasnya.
Perpres Pembelian TLET
Dalam diskusi juga terungkap mengenai rencana penerbitan Perpres tentang Pembelian Tenaga Listrik Energi Terbarukan Oleh PT Perusahaan Listrik Negara. Menurut Mukhtasor, perpres yang antara lain mengatur soal tarif Pembelian Tenaga Listrik Energi Terbarukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) itu sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, di mana harga energi baru terbarukan (EBT) sudah semakin murah.
“Intinya nanti harga ditetapkan oleh pemerintah, tetapi klausul di dalamnya bisa bervariasi, tergantung. PLN akan membeli dari swasta, harga ditetapkan oleh negara. Kalau ditetapkan oleh negara, artinya bukan harga pasar, berarti ada intervensi,” kata Mukhtasor.
Sementara itu, Tulus Abadi berpendapat, RUU EBT harus mewakili kepentingan semua pihak, khususnya stakeholder utama. Kendati bertujuan positif, dia berharap regulasi yang dibuat tidak memberatkan konsumen di masa mendatang.
“Target bauran EBT pada 2025 kan 23% dan itu baru tercapai 11,5%, itu masih harus dikejar. Akan tetapi harus ada kebijakan yang adil untuk semua pihak,” kata Tulus.
Mengenai revisi Permen ESDM No 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) juga dibahas dalam diskusi tersebut.
Marwan menilai revisi Permen dikhawatirkan juga adanya motif bisnis. Dia menilai, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkesan mengesampingkan pendapat para akademisi dan pemangku kepentingan lain dalam revisi regulasi EBT tersebut.
Padahal, kata Marwan, berdasarkan Undang-Undang (UU) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan No 12 tahun 2011, publik wajib dilibatkan, terumata para pakar yang ahli di bidangnya.
Karena itulah, sambungnya, dia bersama para akademisi dan para pengamat energi mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan masukan tentang RUU EBT baru-baru ini. Pihaknya berharap dengan informasi yang lebih lengkap, Kepala Negara bisa menerbitkan regulasi yang lebih berkeadilan.
(CM)
Editor: Rizqa Leony Putri