Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Pengacara Tegaskan Nadiem Tak Terlibat Kasus Google Cloud: Ranah Pelaksana Operasional
Advertisement . Scroll to see content

Saat Ujian Nasional Dihapus

Rabu, 18 Desember 2019 - 15:57:00 WIB
Saat Ujian Nasional Dihapus
Doktor Ilmu Pendidikan Dr Adjat Wiratma
Advertisement . Scroll to see content

Adjat Wiratma
Peneliti The Indonesian Education Analyst (idEdu)

KABINET Indonesia Maju sudah bekerja lebih dari tujuh minggu, beberapa menteri yang menjadi sorotan terus dinantikan gebrakannya termasuk menteri paling muda, Nadiem Makarim, yang menakhodai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jika menyimak dari pernyataan dan isi pidato yang disampaikan dalam sejumlah acara, banyak pemikiran yang kritis dan radikal termasuk soal menggugat kompetensi gelar, lulusan yang tidak siap kerja, serta soal akreditasi yang tidak menjamin mutu.

Sebelumnya bertepatan dengan peringatan hari guru, Mas Menteri juga mengeluarkan jargon Guru Penggerak, dan terakhir yang sering disampaikannya dan akan menjadi jiwa dari kebijakan yang diambilnya adalah Merdeka Belajar. Untuk yang terakhir ini, Kemendikbud sepertinya sudah bulat tekad untuk menghapus Ujian Nasional pada tahun 2021.

Bukan hal aneh jika ujian nasional yang pertama dicetuskan Mas Menteri. Urusan UN memang menjadi garapan setiap menteri, paling mudah digonta-ganti daripada memenuhi kewajiban soal pemerataan layanan dan peningkatan mutu guru. Menghapus UN bukan keberanian dan bukan sesuatu yang luar biasa karena sejatinya evaluasi pendidikan dilakukan pendidik, sesuai dengan amanat Pasal 58 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Dalam hal ini Nadiem sedang menjalankan undang-undang. Namun kebijakan menghapus UN adalah langkah demokratisasi pendidikan yaitu pengakuan pada potensi dan kekuatan masyarakat dalam membangun pendidikan, serta penghapusan UN juga sebagai reformasi pendidikan.

Masalah ujian bukan perkara baru yang selalu diperbebatkan, termasuk saat namanya Ebtanas. Kenapa selalu jadi soal? Karena ujian selama ini hanya bermakna evaluasi yang menakutkan bagi siswa, persiapannya membuat siswa stres, dan banyak siswa yang tidak siap menjalaninya. Siswa menilai ujian nasional adalah saringan untuk memberikan stempel bagi mereka, mana siswa pintar atau tidak. Ujian selama ini dilaksanakan juga tidak sama sekali berkaitan dengan evaluasi perkembangan kepribadian siswa, boros anggaran.

Saat Mendikbud dijabat Mashuri SH, tahun 1968 ujian dihapus, segala macam ujian pendidikan dasar dan menengah saat itu ditiadakan, semua siswa harus naik kelas, semua siswa harus lulus (tamat) belajar, tanpa ujian. Untuk masuk perguruan tinggi tamatan SMA disaring UMPTN, tiap siswa lanjutan memilih sekolah dengan tes masuk.

Saat itu evaluasi hanya dilakukan sekolah berupa rapor hasil belajar. Ulangan yang secara tradisi tetap dilaksanakan sekolah, namun hasilnya tidak boleh dipakai untuk menentukan kenaikan atau kelulusan. Masa itu evaluasi belajar tidak punya makna. Sayangnya, karena tidak ada evaluasi pemerintah tidak punya arah dalam memajukan pendidikan.

Agar yang lalu tidak terulang, dalam skala nasional, evaluasi belajar tetap perlu dilakukan tujuannya untuk mengukur pencapaian standar nasional, untuk hal ini yang terpenting adalah Kemendibud menentukan standar nasional dalam penguasaan pegetahuan tertentu yang bersifat universal, kemudian menyampaikannya untuk menjadi pegangan guru dan kepala sekolah.

UN sudah dihapus, soal mencari pengganti sistem penilaian secara nasional tentu perlu dikaji lebih dalam, termasuk asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang akan diterapkan pengganti UN. Evaluasi belajar sejatinya mempunyai dua fungsi, satu berfungsi memperbaiki proses kegiatan belajar mengajar, di mana guru dan pemangku kebijakan mendapat umpan balik.

Bagi guru dapat memperbaiki proses belajar mengajar atau meningkatkan mutu, dengan cara menangani, menganalisis evaluasi belajar siswa, serta ajang untuk mengambil kesimpulan bersama dengan guru lain, berdiskusi dengan kepala sekolah, tentang faktor hambatan dan faktor yang mendorong keberhasilan.

Fungsi kedua yakni mengetahui kemajuan belajar siswa agar guru atau kepala sekolah dapat memberikan perhatian secara individual kepada siswa. Siswa berprestasi akan mendapatkan penghargaan untuk menumbuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri. Sementara siswa yang kurang akan mendapat perhatian khusus, guru harus dapat mencari sebab dan memberikan motivasi agar siswa berprestasi lebih baik.

Selain menghapus UN, pemerintah melalui ujian sekolah berstandar nasional (USBN) lebih memerdekakan guru dan sekolah dalam menilai. Anggaran yang selama ini digunakan untuk USBN direncanakan dialihkan guna pengembangan kapasitas guru dalam peningkatan kualitas pembelajaran. Hal ini adalah mutlak harus dilakukan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan bermutu. Tidak cukup merdeka belajar, guru sebagai profesi terpenting proses belajar dituntut dengan kepakarannya menjadikan kelas sebagai panggung mengekspresikan profesinya, berinovasi, sehingga tidak ada istilah ritual praktik mengajar.

Guru harus paham dimensi filosofis, ilmu-ilmu pendukung, psikologi perkembangan anak, dan gagasan baru tentang praktik kelas. Tentu ini tidak hanya dituntut dari guru, tapi butuh adanya pelatihan dengan pengalaman dinamis yang difasilitasi pemerintah.

Merdeka Belajar

Hingga hari ini secara umum persekolahan di Indonesia dinilai sebagai lembaga yang membatasi dan mengekang perkembangan potensi anak. Coba saja diperhatikan, tidak sedikit pejabat atau orang tua yang paham pendidikan lebih memilih menyekolahkan anak mereka ke sekolah yang mengadopsi pembelajaran negara luar, dari pada sekolah negeri. Mereka seolah tidak percaya, karena hanya ada satu dua sekolah negeri yang dinilai berkualitas, selebihnya standar pelayanannya tidak merata, juga kualitasnya.

Berkaca dari itu, visi mewujudkan Sumber Daya Manusia Unggul melalui pendidikan adalah sekolah harus mampu melakukan perubahan terencana bagi siswa, dengan membebaskan mereka dari “kekangan”, menciptakan suasana menyenangkan, bebas mengembangkan potensi. Anak hari ini harus memiliki kebebasan menjadi orang yang siap menyesuaikan diri dengan masa depan yang berubah.

Istilah merdeka belajar bukan hal baru, Nurcholish Madjid pernah menyampaikan lewat “Liberal Education.” Sekolah yang memberikan kebebesan kepada anak-anaknya. Bahkan sejak lama sudah disampaikan John Dewey, di mana pendidikan sejatinya datang dari rangsangan terhadap potensi anak, melalui proses sosialiasi dimana anak menemukan dirinya.

Tujuan belajar di sekolah itu harus membebaskan pribadi dan mengembangkan kedewasaan, menjadikan manusia baik, manusia yang mampu belajar hidup bersama, serta persiapan untuk melanjutkan belajar ke tingkat yang lebih tinggi.

Tambahan Empat Pokok Kebijakan

Ujian Sekolah Berstandar Nasional, Penghapusan UN, Soal Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru, cukupkah itu? Tentu tidak, usaha mengurai masalah pendidikan masih panjang, dengan banyak masalah di dalamnya.

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan mandat kepada Pemerintah, Pengelola Pendidikkan dan Guru yakni pertama, mencerdaskan bangsa, dan kedua memberikan hak memperoleh pengajaran kepada seluruh rakyat. Mandat pertama mengandung arti bersifat kualitas, dan kedua bersifat kuantitas.

Sesuai dengan amanat pertama yang disampaikan Presiden Joko Widodo, Mendikbud harus melihat pendidikan Indonesia dari ujung ke ujung, dan sampai ke pedalaman. Indonesia dengan keragaman juga membawa pengaruh pada disparitas kesejahteraan dan pendidikan di Indonesia. Penduduk miskin masih tersebar baik di kota apalagi di desa. Sekolah negeri sudah gratis, tapi sudahkan akses pendidikan terbuka untuk semua anak Indonesia?

Pemerintah harus juga mengarahkan kebijakan pada perwujudan pendidikan yang berkeadilan sosial, yakni pendidikan yang memperhatikan keragaman masyarakat baik dalam sebaran wilayah, serta status ekonomi masyarakat. Tak boleh menutup mata, saat menyiapkan diri dalam tantangan zaman revolusi industri 4.0, di tengah perubahan masyarakat menuju smart society, serta perubahan gaya hidupnya, masih ada sekolah yang bangunannya ambruk, juga sekolah yang tidak ada atau kurang guru.

Perjalanan panjang menata pendidikan Indonesia memang tidak akan pernah usai, Skor kompetensi siswa Indonesia dalam membaca, matematika dan sains hasil Program Penilaian Pelajar Internasional (Programme for International Students Assessment, PISA) yang melorot dibandingkan tiga tahun sebelumnya adalah kabar buruk, sekaligus bahan evaluasi mendalam, dan mari jawab bersama“What’s wrong with our education?.”

Masih butuh banyak terobosan dalam menuju Pendidikan Maju, terutama soal meningkatkan kualitas guru yang diurai dari hulu, dan disparitas mutu pendidikan yang juga sangat erat kaitannya dengan desentralisasi pemerintahan. Saya tunggu gebrakan lainnya, Mas Menteri!

Editor: Zen Teguh

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut