Soal Polemik Aturan Pengeras Suara Masjid, TGB: Niat Menag Pasti Baik
Hal ini, katanya supaya tidak kemudian menciptakan kesan bahwa seakan-akan yang berpotensial mengganggu ketenangan atau ketentraman itu hanya suara yang keluar dari masjid dan musala. Sementara semua tahu, rumah ibadah agama lainnya juga mengeluarkan suara kidung-kidung, lagu-lagu pujian, dan lagu-lagu keagamaan.
Pengeras suara masjid atau musala memiliki juga fungsi sosial budaya. Jadi, menurut TGB di daerah-daerah seperti misalnya di NTB justru pengeras suara masjid itu bukan mengganggu sebaliknya malah menjadi rujukan dari masyarakat di desa.
"Karena di situ sekali lagi bisa juga digunakan untuk banyak pengumuman-pengumuman yang menjadi perhatian dari masyarakat," ujarnya.
TGB mengatakan pengaturan pengeras suara rumah ibadah memang cocok dilakukan di perkotaan karena masyarakatnya yang heterogen. Meski begitu, lanjut TGB, pengaturan ini lebih baik diserahkan kepada kearifan bersama, salah satunya didiskusikan di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
"Diserahkan kepada FKUB untuk kemudian membuat kesepakatan bersama. Kesepakatan itu lahir dan dibicarakan di tingkat masyarakat dan disepakati itu akan jauh lebih mudah diterima. Dibandingkan surat edaran yang isinya berlaku untuk semua padahal situasi masing-masing daerah itu beda-beda," tuturnya.
Misalnya seperti di NTB yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid, ucap TGB, suara dari masjid justru dirindukan. Suara yang justru menjadi penyejuk, tidak ada yang merasa terganggu.
"Bila hal ini berkenan dikoreksi menjadi hal bagus, sehingga tidak terkesan hanya menyasar kepada masjid dan musala," katanya.
Editor: Rizal Bomantama