Sejarah Bakarbessy: Marga Kevin Diks yang Ternyata Masih Keturunan Raja

JAKARTA, iNews.id - Sejarah Bakarbessy menarik untuk dibahas. Ternyata Bakarbessy merupakan salah satu marga.
Marga Bakarbessy mungkin tidak asing bagi sebagian orang, terutama bagi mereka yang mengikuti perkembangan sepak bola internasional.
Nama ini semakin dikenal setelah Kevin Diks, seorang pemain sepak bola profesional yang memiliki darah Indonesia, mulai menarik perhatian publik.
Pasalnya, Erick Thohir Ketua Umum PSSI dalam postingan di Instagramnya terlihat bersalaman dengan Kevin Dicks.
“Makan siang sama pemain FC Copenhagen yang punya keturunan Indonesia, nggak lupa salaman. Selamat bergabung di Timnas Indonesia @kevindiks2,” tulis Erick di akun IG miliknya pada Sabtu, (12/10/2024).
Kevin Diks, yang memiliki nama lengkap Kevin Diks Bakarbessy, adalah seorang pemain sepak bola profesional yang lahir di Apeldoorn, Belanda, pada 6 Oktober 19962.
Ibunya, Natasja Diks-Bakarbessy, berasal dari Maluku Tengah, yang menjelaskan asal usul marga Bakarbessy pada dirinya.
Kevin Diks telah bermain untuk beberapa klub terkenal dan kini berpotensi memperkuat timnas Indonesia setelah proses naturalisasinya selesai.
Marga Bakarbessy berasal dari Negeri Waai di Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah.
Sejarah panjang Negeri Waai tidak lepas dari marga ini, yang sering kali dikaitkan dengan legenda dan mitos setempat.
Berdasarkan cerita rakyat, leluhur pertama orang Waai berasal dari Seram dan tiba di pesisir timur Pulau Ambon sebelum mendaki Gunung Salahutu.
Marga Bakarbessy memiliki peran penting dalam sejarah Maluku, terutama dalam konteks perdagangan rempah-rempah dan kedatangan penjajah Eropa.
Pada abad ke-17, orang-orang Belanda datang dengan misi kristenisasi, yang dipimpin oleh Pendeta van Horen.
Pendeta ini mengajak penduduk setempat untuk turun dari pegunungan dan menetap di tepi pantai, yang kemudian menjadi pusat pemukiman baru.
Menurut Buku Sejarah Negeri Waai dan Lumatau karya Palijama, Maria, dan Seleky (Pusat Studi Maluku Universitas Pattimura Ambon, 2012), leluhur masyarakat Waai berasal dari Seram dan Jawa (khususnya Tuban).
Leluhur pertama yang datang dari Seram mendarat di pesisir timur Pulau Ambon dan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Salahutu, yang kala itu belum berpenghuni. Di sana, mereka mendirikan permukiman awal.
Pada abad ke-17, kedatangan Belanda membawa misi zending atau kristenisasi.
Seorang pendeta Belanda, dikenal sebagai Pendeta Hoeden Horen atau van Horen (menurut beberapa sumber), bersama dua asistennya pergi ke kawasan pegunungan Salahutu untuk menyebarkan Injil.
Pendeta tersebut tinggal lama di perkampungan di pegunungan dan mengajak penduduk setempat untuk pindah ke wilayah pesisir demi kemudahan akses kebutuhan hidup.
Musyawarah pun digelar di negeri Nani guna merencanakan perpindahan ke pantai dan mencari lokasi pemukiman baru.
Namun, upaya turun dari gunung kerap gagal karena berbagai kendala, termasuk banjir. Situasi berubah saat Johanis Tuhalauruw, pengganti Sultan Nuhurela, mengambil tombak pusaka dan melemparkannya bersama kiming (kelopak kering bunga kelapa).
Tombak tersebut tertancap di tanah berbatu di pesisir, yang kemudian dipilih sebagai lokasi pemukiman baru.