Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Jajal Deretan Mobil, IIMS Gelar Touring Lintas Jawa Holiday on Wheels Sejauh 1.500 Km
Advertisement . Scroll to see content

Menyusuri Trans Kalimantan, Antara Rimba Raya dan Adat Budaya

Sabtu, 17 Maret 2018 - 07:00:00 WIB
Menyusuri Trans Kalimantan, Antara Rimba Raya dan Adat Budaya
Tim Jejak Roda BMW Motor Cycle Club Jakarta menikmati Borneo Orangutan Survival di Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. (Foto: BMW MC Jakarta).
Advertisement . Scroll to see content

PALANGKARAYA, iNews.id - Palangkaraya, Senin. Tak ada kendala berarti dalam perjalanan. Hanya gangguan kecil yang membuat keberadaan tim di Palangkaraya tidak komplet. Dua motor terpaksa harus tinggal di Pangkalan Bun. Pak Budhi Dharma dengan BMW R100GS menunggu kiriman sparepart dari Jakarta dan Mas Soderi dengan R1200C ikut menemani.

Tapi di balik itu semua ada  kejutan. Motor klasik keluaran 1952 jenis R51/3 menyusul ikut bergabung dan menjadi satu-satunya motor klasik dalam tim. Boy Unyil, memotong rute naik kapal feri, menyeberang dari Semarang menuju Pangkalan Bun malam sebelumnya.

Sesuai jadwal  perjalanan yang telah disusun, hari keempat istirahat sehari penuh di Palangkaraya. Bisa dibilang ini adalah hari bonus untuk memulihkan energi yang terkuras dalam tiga etape sebelumnya. Bebas, bisa bangun siang.

Kendati demikian, Ervien pemilik R100GSPD dan Erye penunggang R100RS tetap harus bangun lebih pagi. Hasil inspeksi mekanik terhadap motor Ervien, motor harus ganti ban belakang sekaligus ban depan. Ban sudah usang dan tidak aman dikendarai mengingat rute yang yang akan ditempuh masih panjang. Sedangkan ban milik Erye, diharapkan bisa diganti karena ada robek tipis.

Tim Jejak Roda mengunjungi Museum Balanga.

Dengan bantuan bikers lokal dari KNI, Aristant, mereka keliling kota mencari ban yang cocok. Walau Palangkaraya termasuk kota besar, tidak mudah mencari ban untuk motor off road dengan ukuran 17 inchi belakang dan 21 inchi depan, serta ban lingkar 19 untuk depan. Akhirnya roda yang dimaksud dapat diperoleh.

Namun muncul masalah kedua, harus dibawa ke bengkel mobil untuk membuka ban. Banyak waktu terbuang dan harus rela ditinggal makan siang. Di sisi lain ban Ring 19 dipastikan tak ditemukan di lima  toko ban di Palangkaraya karena ukuran ini memang size motor klasik atau motor trail, yang di Palangkaraya disebut ban rimba.

Hari itu kami diajak makan oleh adik Bu Ellis yang kebetulan bertugas di Polda Kalimantan Selatan. Jam 12.00 hidangan sudah tersaji saat kami tiba di Restoran Kampung Lauk. Restoran terkenal di kota ini dan ramai pengunjung. Pilihan tempat duduk kami strategis, tepat di pinggir Sungai Kahayan. Dari sini kami dapat melihat jembatan Kahayan yang megah dari kejauhan.

Sambil makan, perjalanan 3 motor yang menyusul dari Pangkalan Bun terus dimonitor. Dapat info R100GS sudah sampai di Sampit. Adapun R1200C dan r51/3 jauh tertinggal di belakang. Tidak tanggung-tanggung, tertinggal 70 km.


Santap siang di Restoran Kampung Lauk.

R100GS melesat sendirian, asyik menikmati shock breaker baru. Membayar lunas utang, setelah berpayah-payah riding dengan shock breaker rusak sepanjang jalur Nanga Tayap - Pangkalan Bun dua hari sebelumnya. Tepat pukul 14.00  waktu setempat, ada perintah untuk segera bersiap. Ervien R100GSPD masih bersungut-sungut  menyantap sajian yang menurutnya tinggal sedikit karena dihabiskan Rizal R100RS.

Ikan bakar berbagai jenis dan sambal tomat memang lezat, khas Kalimantan. Saking nikmatnya makan, ada yang lupa mematikan kontak motor.  Hidra R80G/S putih mulai dapat masalah, motor tidak bisa distarter. Info dari mekanik, tadi lupa matikan kunci kontak dan lampu dibiarkan terus menyala. Setrum aki habis.

Tujuan berikutnya  Borneo Orangutan Survival di Nyaru Menteng, yang berjarak sekitar 30 km dari pusat kota Palangkaraya. Hanya setengah jam berkendara kami sudah sampai di tujuan dengan dipandu 2 motor Kawasaki Ninja dari KNI. Tepat pukul 15.00. Suasana sepi di area yang sangat teduh karena pepohonan lumayan rapat. Terasa sudah masuk hutan.

Portal sudah ditutup saat kami datang, tapi masih diizinkan masuk sebentar untuk melihat-lihat. Oh ya, di sini dilarang merokok, apalagi bising dan tertawa-tawa dengan suara keras. Motor pun diminta parkir di luar dan mesin dimatikan. Tempat ini didirikan khusus untuk menyediakan perawatan dan rehabilitasi bagi orangutan yang terusir dari habitatnya atau anak orangutan peliharaan yang terpisah dari induknya karena ulah manusia.

Menuju Danau Tahai.

Di tempat ini ada sekolah khusus orangutan. Mereka bukan untuk dijinakkan justru diajarkan untuk liar. Diajari cara bertahan hidup di hutan, membangun sarang, memilih makanan. Bahkan, di tempat ini manusia mengajarkan orangutan cara memanjat. Tentu dengan membuat simulasi habitat yang mirip aslinya.

Niat untuk menyaksikan anak-anak  orangutan pulang sekolah tidak kesampaian. Hari makin sore. Masih ada satu tempat lagi yang harus dituju, Museum Balanga. Museum yang terkenal paling luas di Indonesia, rapi dan bersih. Juga museum yang terkenal paling angker.

Dengan kecepatan normal, iring-iringan yang dipandu Aristant dan Bagus dari KNI dalam 30 menit bisa mencapai lokasi. Tapi iring-iringan kami agak lambat karena di Km 15 ada kecelakaan di depan mata. Avanza yang gagal menyalip nyelonong masuk parit dan tersangkut di pohon sawit. Sore itu lalu lintas memang agak padat.

Pukul 16.00 museum sudah tutup. Tapi masih ada penjaga yang baik hati mau membukakan pintu dan mengizinkan kami masuk bertamu. Penjaga yang baik hati itu bukan orang Dayak. Dia keturunan Jawa tapi besar di Kalimantan. Sebagai anak kolong beliau selalu ikut orang tua yang dapat tugas dinas di sekitaran kalimantan.


Dari penjelasannya, Museum Balanga  ini luasnya 5 hektare. Menyimpan banyak barang-barang  asli bikinan Suku Dayak. Dengan melihat koleksi yang ada, kita bisa mendapat gambaran kehidupan Suku Dayak Kalimantan Tengah.

Hari semakin sore. Tidak bisa berlama-lama  di museum. Bukan karena petugas yang tidak sabar untuk segera pulang, melainkan museum terasa begitu luas untuk kami yang cuma berdelapan. Ditambah lagi dengan  informasi bahwa unsur magis sangat melekat pada barang-barang  koleksi museum, baik itu senjata tradisional atau sekadar alat pencari ikan.

Konon ada beberapa ruangan yang tidak dianjurkan untuk dilihat. Ruangan tempat penyimpanan senjata-senjata  tradisional yang ada isi-nya. Senjata itu kadang bisa tiba-tiba  menghilang jika dipanggil pemiliknya saat sedang dibutuhkan. Katanya kalau tidak kuat mental, bisa sakit atau kesambet.


Sesi foto bareng di depan museum ditunda sebentar. Kami Mendapat kabar kalau Pak Budi sudah di Palangkaraya. Sekitar 8 km di luar kota. Janjian ketemu tidak sulit, museum yang terletak di Jalan Raya Tjilik Riwut mudah dicari dan menjadi jalan masuk utama ke kota. Sementara Soderi dan Boy semakin jauh tertinggal. Estimasi kami, mereka baru akan sampai pukul 22.00. Sering berhenti, mungkin banyak tempat menarik disinggahi untuk tidur-tiduran.

Hari ini perjalanan tidak terlalu jauh. Tapi capeknya tidak beda dengan touring hari sebelumnya. Cuaca panas dan macet dalam kota sangat menguras tenaga. Apalagi mekanik. Menghidupkan mesin harus ekstra tenaga untuk mendorong R80G/S putih yang tidak kuat lagi memakai elektrik starter.

Jam 19.00, raungan suara knalpot Harley Davidson terdengar memasuki hotel. Kawan-kawan dari IMBI Palangkaraya datang ke Hotel Grand Sakura dan mengajak kami makan bersama di Kalawa Boulevard, sekitar 20 menit keluar Kota Palangkaraya. Malam ini suasana akrab dan ngobrol  mengenai jalur bermotor di Kalimantan, hingga menembus Malaysia dan Brunei. * (bersambung)

*Penulis

Hidra Simon
BMW Motor Cycle Club Jakarta

Editor: Zen Teguh

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut